heiyo..

Foto saya
suka putihitembiru. jhenkelind banget. hanya seorang mahasiswi desain.

Jumat, 04 November 2011

Terimakasih Tuhan..

Terimakasih Tuhan..


Aku memang tak mengenalnya. Hanya saja dia sudah membuat semuanya menjadi bermakna. Dia datang dia saat yang tepat.

Aku memang tak mengenalnya. Tapi aku sering melihatnya  duduk di sebuah kursi di dekat pohon.

Aku memang tak mengenalnya. Tapi dia berhasil merubah kehidupanku seketika.

--

Hari ini begitu panas. Matahari bersinar sangat terik. Aku melihat sekitarku, banyak orang – orang yang mengipaskan sebuah buku ataupun tangannya di luar sana, untuk membuat muka dan leher mereka sedikit terkena angin.

Aku hanya tersenyum melihat kelakuan orang – orang tersebut. Aku membesarkan volume radio yang sedang ku dengarkan. Mengalun dengan indah suara Armand Maulana dengan bandnya, Gigi.

Ingatkah aku menghitung waktu
Perjalananku di dunia ini
Yang penuh dengan kesalahanku
Salah yang telah menjadi biasa

Lampu merah masih menyala. Aku kembali melihat sekitarku. Melihat aktivitas yang ada di jalan raya.

Aku selalu merasa benar
Karena merasa makhluk sempurna
Semua pikiran dan perasaan
Kadang menjadi kekuranganku

Tok.. tok.. tok..
Ada yang mengetuk jendela mobilku. Aku menoleh ke arahnya.
Seorang anak kecil yang menjajakan korannya. Aku tersenyum dan menggeleng.

Kekhilafan ini
Kehampaan ini
Telah luluh untuk di maafkan

Aku melajukan mobilku, karena lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau.

--


Kampus hari ini mulai ramai. Seperti biasa aku dan beberapa temanku, menikmati makan siang kami di kantin kampus. Kami memesan makanan untuk mengisi perut kami yang sudah berteriak.

Tak lama kemudian, pelayannya datang mengantarkan pesanan kami.

Porsinya cukup banyak untuk kami.

“Kenyang.” Giska mendorong piringnya ke tengah meja. “banyak banget sih porsinya.”

“Sama nih. Gue juga.” Kataku sambil melakukan hal yang sama.

Hanya Rama, Agil dan Nita yang habis. Aku dan Giska hanya kuat makan separo.

Sebenarnya perutku masih kuat untuk menampung makanan itu. Tapi entah mengapa aku males untuk memakannya.

“Cabut yuk?” ajak Nita.

--

Masih sama seperti siang – siang sebelumnya. Jakarta selalu panas. Dan macet.

Kuliah hari ini begitu membosankan. Hanya mendengarkan ceramah dari dosen yang juga membosankan.

Tok.. tok..tok..
Aku menoleh ke jendelaku.

Lagi – lagi anak itu. Sudah kesekian kalinya dia menjualkan koran kepadaku. Dan jawaban ku, hanya sebuah senyuman dan gelengan kepala. Dia berlalu begitu saja. Mencoba menjajakan koran yang dibawanya ke orang – orang.

--

“Apaan sih ma? Aku tu capek. Aku pengen istirahat. Jangan suruh – suruh aku deh.” teriakku.

Kulihat mama mengelus dada. Mencoba bersabar dengan kelakuanku. Aku segera masuk kamar. Tak lupa dengan membanting pintu.

Aku menjatuhkan tubuhku ke atas ranjang tempat tidur. Aku mengambil HP  di dalam tasku. Membaca sebuah sms dari Rhesa, gebetanku. Aku memang belum sempat membaca pesan singkatnya itu.

Yas, besok jalan yuk? Gue tunggu lo di Dellas Cafe. Jam 2 siang, habis itu nonton ya?

Begitulah pesan singkat yang di kirimkannya padaku.

--

Aku memarkirkan mobilku ke halaman parkir cafe itu. Aku keluar dari mobil. Aku tak tau apakah Rhesa sudah ada di sana apa belum. Aku tak sabar untuk menemuinya.

“Kak, beli korannya kak.” seorang anak memberikan sebuah koran untukku.

Anak itu lagi. Anak yang sering ku lihat di lampu merah. Dia juga sering menjajakan korannya padaku.

Cafe ini memang tidak begitu jauh dengan lampu merah yang ku maksud. Lumayan jika di tempuh dengan berjalan kaki. Dan anak ini menjajakan korannya sampai sini.

Aku tersenyum dan menggeleng. Berlalu begitu saja dari hadapannya, dan bergegas masuk ke dalam cafe.

--

Aku tak jadi nonton dengan Rhesa. Karena mendadak dia ada panggilan untuk pekerjaannya. Rhesa memang seorang freelance di salah satu studio Fotografi yang cukup terkenal di kota ini.

Aku segera keluar cafe. Aku melihat anak itu lagi. Koran yang di pegangnya masih banyak.

Benih – benih keringat mulai bercucuran dari atas kepala dan tubuhnya. Aku pernah bilang kan? Jakarta selalu panas.

Anak itu duduk di sebuah bangku dekat dengan pohon besar. Dia menghapus peluh keringat yang semakin banyak menyinggahi tubuhnya. Dia menunggu lampu lalu lintas menjadi merah. Agar dia bisa menjajakan koran itu.

Entah mengapa tanpa sadar aku terus mengawasinya dari sini. Tempatku berdiri.

Udara masih saja panas. Padahal hari sudah menjelang sore. Aku memutuskan masuk ke dalam mobil, mencari keteduhan dengan udara yang dihasilkan oleh AC. Adem.

Anak itu dan beberapa temannya memutuskan menyudahi kerja mereka hari ini. Aku masih melihatnya. Sepertinya kini dia berjalan pulang.

Tak jauh dari tempatku. Ada yang mencegat mereka. Dua orang dengan tubuh kekar, mereka terlihat seperti preman.

“Eh, lo dapat berapa? Siniin uangnya.”

Anak itu mulai ketakutan. Dia menggigit bibirnya. “cu..cumm..ma segiini bang.”

Sang preman langsung saja mengambil uang anak itu dan beberapa temannya. Anak itu memegang tangan sang preman. “bang.. jangan bang. Nanti saya dan ibu saya makan apa?”

“Bukan urusan gue. Itu urusan lo!” Preman itu berlalu entah kemana.

Anak itu mulai menangis. Dia terduduk lemas. Kemudian dia berdiri dan berjalan gontai.

--

“Iihh.. mama. Ini apaan? Kan aku maunya makan ayam goreng bukan ikan goreng ini.”

“Iya mama tau, tapi tadi bibi udah nyari di penjual sayur. Ayamnya udah habis. Besok kan bisa.”

Aku melengos. Tak mengindahkan perkataan mamaku. Aku mengambil nasi yang cukup banyak dan satu ikan goreng. Aku mulai menyantapnya.

Tapi tak berapa lama.

“mau kemana kamu Yas?”

“kenyang, ma.”

“tapi nasimu belum habis.”

“tapi kan Ayas kenyang ma. Masa’ iya harus Ayas habiskan? Perutku udah nggak muat masukin makanan itu.”

Aku berjalan ke kamarku. Memang makananku tak habis. Nasi yang tadi kuambil banyak, hanya ku makan separo. Ikannya pun mengalami nasib yang sama seperti nasi. Hanya aku makan sedikit.

--

Ada doa ada lara
Ada tangis dan nestapa
Melagu melebar jiwa
Kadang sendu kadang ceria

Tatap angkuh penuh cela
Tiada lagi ku bermanja
Berkeping hati berbudi
Kalam di mataku

Aku membesarkan volume suara radioku. Lagu ini. Aku suka lagu ini. Suara jazz Andien  memang indah.

Bagai bala singgah kini
Sesat pandanganku kini
Sumbang suara – suara cinta
Tlah berada – ada

Aku ingin melihat anak itu lagi. Entah sejak kapan. Melihat anak itu menjadi hobiku saat ini. Aku selalu melewati jalan ini entah kuliah atau sekedar hangout.

Lelah sudah ketersadar diri
Warna cinta membaur berganti

Kelam kini menghantui
Kucari sepi hidupku
Namun tak juga kujumpa
Tak daya kukejar hari

Aku memarkir mobilku di depan Dellas Cafe. Aku tak mengerti ada apa denganku hari ini. Aku ingin sekali memata – matai si gadis kecil penjual koran itu.

Ada doa ada lara
Ada tangis dan nestapa
Tlah kau beri sepi
Tiada bertepi

Seusai lagunya Andien. Aku mematikan mesin mobilku dan keluar dari sana. Mulai mencari gadis kecil itu.

Hei! Aku tak melihatnya menjajakan koran seperti biasanya. Kemana dia?

--

Hari ini aku tak membawa mobil. Entah aku mendapat keinginan dari mana. Aku harus memata – matainya. Aku pulang kuliah dengan temanku.

Aku minta turun di Dellas Cafe. Alasanku, aku ingin bertemu dengan teman lama di sana. Ya, aku berbohong.

Lagi. Seperti biasa. Anak itu menghapus peluh yang membasahi wajahnya yang manis. Dia berjalan ke arah warung yang ada di sekitarnya.

Aku mengikutinya. Tentu saja dengan jarak yang tak begitu dekat.

“Bu, ada sisa nasi lagi? aku lapar bu.” Wajah itu seakan penuh harap.

Ibu itu tersenyum, walau sedikit terpaksa. “ini. tadi ada yang makan tapi nggak habis. Buat kamu aja.”

Anak itu terlihat senang. Dia mengucapkan terimakasih ke ibu penjual itu. Kemudian dia duduk di bawah pohon dan memakannya dengan lahap.

Aku takjub. Aku tak percaya.

Dia memakan makanan orang lain yang tak habis. Bukankah itu menjijikan? Tapi anak ini dengan senang hati memakannya. Tak ada rasa risih dan jijik saat ia memakan nasi sisa itu.

Setelah ia makan. Ia kembali menjajakan koran – koran yang hari ini lumayan laku.

Hari semakin sore. Dia beranjak dari tempat itu. Aku mengikutinya kembali.

Dia berjalan ke sebuah kampung yang cukup kumuh. Sangat kumuh, mungkin. Aku berjalan enggan. Anak itu berhenti tepat di sebuah warung.

“Bu Marwah, saya mau beli nasi donk.” Senyumnya ramah.

Setelah membeli nasi, dia berjalan lagi. Dan aku tetap mengikutinya.

Tak berapa lama. Dia berhenti tepat di sebuah gubuk yang sangat kecil, gubuk yang tak layak untuk di gunakan.

“Ibu. Dara pulang.” teriaknya.

Sang ibu keluar dari gubuk itu dan memeluk gadis kecilnya. “uhuuuhhuukkk.. uhhhuuukk..”

“Ibu nggak apa – apa? Ibu tadi kerja lagi ya? Kan Dara udah bilang. Biar Dara aja yang cari uang. Ibu istirahat saja.”

“Nak, harusnya kamu itu sekarang sekolah bukannya jualan koran seperti ini. Maafin ibu ya, nak.”

Anak itu tersenyum tulus. “ibu.. ibu nggak usah mengkhawatirkan Dara. Dara nggak apa – apa kok. Walaupun Dara nggak sekolah. Dara bisa baca. Itu udah membuat Dara senang.” Anak itu mengeluarkan bungkus nasi yang di bawanya. “ini bu, makan dulu. ibu pasti belum makan.”

“Makasi ya, Nak. Apa kamu sudah makan?”

“Sudah kok bu. Tadi Dara sudah makan.”

Aku mengingat – ingat kapan anak itu makan. Pikiranku melintas ke kejadian tadi siang. Saat ia memakan nasi sisa bekas orang lain.

--

Aku duduk di balkon rumahku. Kejadian kecil yang membuatku terenyuh. Membuatku takjub dan mampu membuatku menangis.

Anak itu begitu rela memakan nasi sisa bekas orang lain. Sedangakn ia membeli nasi baru untuk ibunya. Sedangkan aku? Saat bepergian, aku jarang memikirkan ‘apa mama sudah makan?’, ‘nanti mama makan apa ya?’. Tak ada pikiran seperti di benakku. Malah aku lebih sering menyisakan makanan.

Usiaku dan anak itu terpaut sangat jauh. Jika dilihat, usia anak itu sekitar 10 tahunan. Tapi pikirannya melebihi pikiranku. Dia bersikap dewasa. Sedangkan aku?

--

Hari ini aku kembali mencari anak itu. Aku ingin membelikannya sesuatu yang mungkin bermanfaat untuknya.

Seperti biasa aku memarkirkan mobilku di halaman parkir Dellas Cafe.

Aku segera berjalan ke arah anak itu yang sedang duduk di pinggir jalan. “Heii....” panggilku.

Anak itu beranjak dari duduknya. Dia berteriak lantang. “Ibuuuuuuuuuuuu.....”

Aku menoleh ke arah orang yang di panggil oleh gadis kecil itu. Aku melihat ibunya berlari ke arah si anak.

Dia berlari tanpa melihat jalan. Di kiri jalan, ada sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melintas di jalan raya.

Dan semua berlalu begitu cepat. Sang ibu tertabrak. Tubuhnya terpelanting cukup jauh. Kepalanya membentur aspal, darah keluar begitu banyak dari kepalanya.

Aku dan anak itu juga orang – orang segera berlari ke arah ibu itu. Aku sempat melihat orang yang mengemudikan mobil itu.

Rhesa.

Ya, itu Rhesa. Aku sangat terkejut dengan apa yang ku lihat. Selain karena dia yang menabrak ibu si gadis penjual koran. Tetapi juga karena ada gadis lain di mobil itu.

Rhesa segera saja berlalu dari situ. Orang – orang meneriakinya. Mencacinya.

Dia tak mau bertanggung jawab dengan semua ini. Dia malah pergi begitu saja.

--

“Ibuuu..hiks.. ibu...” ratap anak itu. Dia terus saja menangis. Aku mengelus rambutnya. Dia menyenderkan kepalanya ke tubuhku.

Tak berapa lama, si dokter yang memeriksa sang ibu keluar. “apa Anda keluarga si korban?”

“Iya.” jawabku mantap.

“Alhamdulillah beliau terselamatkan. Padahal darah banyak keluar dari kepalanya. Semua adalah mukjizat Allah SWT.”

Aku tersenyum senang mendengarnya. Begitupun dengan gadis itu.

--

Hari ini aku kuliah dengan naik angkot. Aku tidak menggunakan mobil kesayanganku itu. Aku ingin merasakan peluh yang keluar dari pori -  pori wajahku.

Aku ingin merasakan teriknya matahari yang begitu panas.

Aku ingin selalu mensyukuri apa yang aku punya. Bukan malah menyia – nyiakannya begitu saja. Dan pastinya aku ingin menyanyangi mamaku, lebih dari sebelumnya.

Seperti anak itu yang rela makan nasi sisa orang lain, dan membelikan  nasi baru untuk ibunya.

Dan Rhesa. Aku hanya menganggapnya angin lalu. Dia bukan gebetanku lagi, bukan orang yang kusukai lagi. Melainkan seorang pecundang yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.

--

Terimakasih Tuhan.
Engkau telah mempertemukanku dengan gadis penjual koran
Yang begitu tabah menjalani harinya
Dan dia yang membukakan hatiku
Untuk selalu bersyukur padaMu

Terimakasih Tuhan.
Atas nikmat yang Engkau berikan padaku.
Tak kurang dan tak lebih.
Kini aku akan menghargai apa yang telah Engkau titipkan padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar