heiyo..

Foto saya
suka putihitembiru. jhenkelind banget. hanya seorang mahasiswi desain.

Jumat, 04 November 2011

Catatan Kecil Bii

Catatan Kecil Bii


Pernahkah kamu berpikir jika saja orang – orang yang ada di sekitarmu tak peduli padamu?
Pernahkah kamu berpikir bahwasanya mereka tak pernah menganggapmu ada?
Atau pernahkah kamu berpikir sebaiknya kamu tak ada, mungkin semua akan senang?

Ya, aku pernah berpikir seperti itu. Aku tahu pikiranku terlalu picik.

Dan ini sebuah catatan kecil tentangku.

--

Senin, 17 April 2000

Hari ini terasa biasa saja bagiku. Semua berlalu tanpa ada kesan. Tidak ada yang bermakna bagi kehidupanku. Hambar.

Aku memasuki ruang kelas yang sumpek dan berisik. Aku melihat seisi kelas, tampak biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Datar.


Ada beberapa anak yang membentuk lingkaran, semacam lingkaran kecil mungkin. Mereka berbicara tiada henti, membicarakan kejelekkan seseorang, bukan hanya seorang tapi beberapa orang. Apa bagusnya membicarakan tentang kejelekkan orang? Menambah dosa saja.

“Ah tau nggak sih? Bii sok banget ya? sok tahu gitu deh.”

“Gak kok, Bii mah baik, dia suka nolongin orang kok.”

“Dia gak baik ah.”

“Eh denger deh, aku pernah kok ditolong sama dia. lagian dia kocak kok.”

“Tapi aku kasihan sama dia . . . . . . . . . “

Sayup – sayup aku mendengar namaku di sebut. Tapi aku tak mau pedulikan itu semua. Terserah mereka saja. Toh, mereka yang berdosa bukan aku.

Betapa suntuknya aku di kelas ini. Aku bertopang dagu. Menunggu guru yang akan masuk mengajar kami.

Aku ingin lekas pulang. Walaupun aku tahu, sekolah dan rumah tak ada bedanya. Sama – sama membosankan.

--

Sepi. Rumah ini memang sepi. Lebih tepatnya selalu sepi. Aku tak pernah tahu, kemana mama dan papa pergi. Aku juga tak pernah tahu apa yang dikerjakan kakakku di luar.

Apa peduliku? Mereka memang orang tuaku. Tapi mereka seolah tak menganggapku ada. Apa aku memang tak pantas ada dunia ini? Pertanyaan itu selalu melintas di kepalaku.

Kak Steve pun seperti itu. Dia bukan seperti seorang kakak bagiku. Dia seperti monster yang setiap saat selalu mengganggu kehidupanku. Aku pernah memergoki dia mengambil celenganku. Aku tak mengerti apa dia psycho atau bukan. Padahal mama dan papa berlebihan memberikan kami kemewahan, tapi mengapa dia masih saja mengambil celenganku. Bukan hanya celengan saja, dia pernah mengambil HP ku.

Sudahlah! Aku tak ingin membahas orang – orang yang tak menginginkanku di sini.

Aku membuka buku harianku. Membaca satu bait kata yang ku tulis.

Apa aku harus menghilang saja dari muka bumi ini? agar mereka yang tak menginginkanku bahagia. Bukankah itu tujuan mereka?”

Aku tersenyum kecil. Mungkin sebaiknya memang harus seperti itu. Tanpa aku sadari air mataku menetes.

--

Selasa, 18 April 2000

Aku berjalan menelusuri halaman sekolahku yang luas. Sekolahku memang sekolah terbagus yang ada di kota ini. Siapa saja bisa masuk sini asalkan ada uang atau dia memang pintar.

Aku melihat seseorang duduk di bangku taman. Dia memegang sebuah buku dan mulai menulis. Aku mencoba mendekatinya. Aku penasaran dengan orang tersebut.

Fara.

Ternyata orang tersebut adalah Fara. Sahabatku.

Beberapa hari ini kami memang jarang bertegur sapa. Karena sebuah kejadian yang membuat kami berkelahi. Dan jalan tengah yang kami tahu, kami tak mau berteman lagi.

Kini dia sendiri. Hanya sendiri. Dia tak punya teman. Sama sepertiku.

Eh! Ternyata aku salah. Dea dan Sinta berjalan ke arah kami, lebih tepatnya ke arah Fara. Aku segera berjalan menjauh dari tempat itu. Sinta berkata sesuatu ke Fara. Tapi aku masih mendengarnya.

“Far, udah donk, kamu jangan nangis. Kita berdoa aja . . . .”

Aku hanya mendengar sekilas. Ada apa dengan Fara? Apa yang terjadi dengan Fara? Mengapa dia menangis?

Ah bodoh amat! Bukankah Fara sudah tak peduli padaku? Mengapa aku harus peduli padanya? Dia menangis ataupun tak menangis, bukan urusanku.

--

Rabu, 19 April 2000

Hari ini ada pemilihan panitia untuk acara pensi sekolah kami. Mereka semua masih saja ribut. Memilih siapa saja yang pantas menjadi panitia. Aku sudah bisa menebaknya. Pasti itu – itu saja. Aku bosan melihatnya.

Gori, Kiko, Jeje, Nana, Loli, Dinda, Weda, Hisa, Moci.

Ya, nama - nama itu tertera di papan tulis. Mereka tersenyum dengan bangga. Mereka selalu menjadi panitia yang mewakili kelas kami. Tak ada kesempatan bagi murid yang lain untuk menjadi panitia. Aku rasa mereka egois.

Aku melihat Nana tertunduk. Ada butiran kecil yang keluar dari mata indah gadis itu. Air mata.

“Andai dia ada si sini ya? Pasti dia jadi ketua panitia tim kreatif, membantuku memberi ide.”

Dinda langsung memeluk Nana. Dan berbisik. “kita berdoa saja untuk dia . . . .”

Oke. Aku memang tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Sekali lagi aku katakan. Apa peduliku dengan mereka? Merekapun tak pedulikan aku.

Kelas ini penuh dengan orang egois. Bukankah begitu?

--

Aku membaringkan tubuhku di kasur empuk kamarku. Pikiranku melayang – layang, terbang entah kemana.

Aku bosan dengan hidupku. Aku bosan dengan semua yang berlalu di kehidupanku.

Tak adakah sesuatu yang bermakna, yang melintas di depanku?

--

Kamis, 20 April 2000

Aku menelusuri lorong – lorong sekolahku. Mencari tempat terbaik untuk bisa merenung. Aku ingin sendiri tanpa ada seorang pun yang menggangguku.

Atap sekolah.

Tempat ini memang sepi, jarang ada anak yang mau main di tempat ini. Untuk menyinggahi tempat ini saja mereka tak mau.

“Aaaaaaaaaaaaaaa.....”

Aku berteriak sekencang mungkin. Aku tahu, tak mungkin ada yang mendengarku. Sekolahku kan lantai 5, tak mungkin mereka mendengar teriakanku ini.

Aku tiduran di sebuah bangku, sambil melihat langit biru dengan hiasan awan putih seperti gulali. Indahnya sebuah persahabatan antara langit dan awan.

Langit sangat baik, mau mempersilahkan awan untuk bermain di kehidupannya. Jika tak ada awan, pasti kehidupan langit hampa.

Andai kehidupanku bisa seperti persahabatan awan dan langit. Aku menyipitkan mataku, betapa silaunya sinar matahari ini.

Sayup – sayup aku mendengar suara alunan gitar dimainkan. Aku mencoba bangun dari tidurku. Mencari asal suara itu.

Bukankah tempat ini sepi? Mengapa ada suara alunan gitar? Aku mulai bergidik ketakutan.

Suara itu semakin dekat. Aku berjalan perlahan.

Aku melihat seorang cowok sedang memainkan gitar dengan indah. Setiap alunan yang dihasilkan gitar itu begitu merdu. Dan dia mulai bernyanyi.

Aku..
Hanya sinar yang melintas sekedip
Bagai kunang kunang kecil
Dan engkau sayap sayap yang meranggas
Seusai sekepak kau mengudara
Membawa hatiku semua…

Dega.

Apa aku tak salah lihat? Apa benar itu Dega? Jika iya, aku tak percaya.

Pasalnya Dega adalah orang yang telah lama kucintai. Semenjak awal masuk sekolah. Mungkin cinta pertama namanya. Entahlah.
Aku dan dia memang tidak begitu akrab. Jika bertemu pun, kami hanya sekedar ‘say hello’. Tak lebih.

Mataku tak pernah lepas untuk melihatnya. Apalagi jika dia ada di dekatku. Yah, walaupun aku melihatnya sembunyi – sembunyi. Kadang tatapan kami saling bertemu. Dan aku suka itu.

Uuuuuuu uuuuu uuuu….
Kita…
Ialah kata yang terlambat tercipta
Yang semestinya tak terjadi
Dan cinta
Ialah rasa yang pertama dan terakhir
Tuk merangkum kerinduan
Kepasrahan dan maafku…

Aku masih mendengarkan dengan seksama lagu yang dinyanyikannya. Suara alunan gitar yang merdu. Dan aku tak pernah mendengar dia bernyanyi seperti ini. Dia begitu menghayatinya.

Tuk semua…
Yang terlambat kulakukan
Tuk semua
Yang tak sanggup ku janjikan
Tuk semua…
Houu…uu..
Lama kucoba
Memandang jejak kaki kita
Tanpa sesak…
Menerimamu tanpa aku mengerti
Indahnya arti hari ini
Tanpa harapan tuk kembali…

Eh? Apa aku tak salah lihat?

Dega mengeluarkan air matanya. Dia menangis. Hei?? Demi apa Dega menangis? Setahuku Dega anaknya ceria.

Sedalam itu kah lagu yang dinyanyikannya?

Kesemua yang tak sempat ku ungkapkan
Kesemua yang tak tepat ku katakan
Yang tak usai kujalani yang tak ingin ku ingkari
Dan semua…
Dan semua…ha ha ha…
Dan semua….

Dega berhenti memainkan gitarnya. Dia menatap sebuah kertas yang sedang di pegangnya. Tak jelas apakah tulisan ataukah sebuah gambar di kertas itu.

“Aku yakin kamu bakalan sembuh...”

Maksud kata – kata Dega apa? Siapa yang sakit? Pacarnya?

Entah mengapa hatiku terasa perih. Orang yang aku sukai sudah mempunyai pacarnya. Bodohnya aku selama ini, selalu memantaunya dengan caraku.

Aku segera berlalu dari tempat ini. Hancur sudah semuanya.

--

Jumat, 21 April 2000

Aku duduk termenung seorang diri di bangku taman sekolahku. Bangku ini dekat dengan sebuah pohon besar. Cukup aman untuk merenung. Aku tak ingin ada seorangpun yang tau aku di sini.

Semuanya hancur.
Keluargaku.
Sahabatku.
Orang yang kucintai.

Keluarga yang tak pernah menganggapku ada. Mama dan papa terlalu sibuk dengan pekerjaannya, mungkin. Kak Steve sibuk dengan pergaulannya yang amburadul, mau jadi apa dia seperti itu?

Fara. Sahabat yang sangat aku sayangi. Meninggalkanku. Aku tau bukan salah dia, tapi salahku. Aku minta maaf pun sepertinya percuma. Dia tak kan memaafkanku. Bukankah sudah ada Dea dan Sinta yang menggantikanku?

Dega. Cowok yang sudah lama kucintai. Ternyata sudah memiliki seorang kekasih. Dan aku tak tau itu. Bodohnya aku masih mengharapkannya. Penantian yang sia – sia.

Aku menangis memikirkan semua ini. Rasanya aku ingin pergi tinggalkan semuanya. Semua yang tak menyanyangiku.

Apa gunanya aku di kehidupan mereka?

Aku seperti sebuah angin yang berhembus dan hilang. Tak bermakna.

--

Sabtu, 22 April 2000

Hari ini tidurku nyenyak sekali. Untung saja aku libur. Aku bisa tidur sampai puas.

Aku membuka mataku.

Tapi apa yang aku lihat? Banyak orang di sekelilingku.

Ada mama.
Ada papa.
Ada kak Steve.
Ada Fara
Dan ada Dega.

Ada apa ini? Mengapa mereka merubungi tempat tidurku?

Mereka semua tersenyum senang melihatku. Mama dan Fara  menangis. Papa pergi entah kemana.

Ada apa denganku?

“Alhamdulillah. Sayang kamu sudah sadar.” Mama mengecup keningku dengan senang.

Papa datang kembali, tapi tak sendiri. Dia bersama dengan seorang.. dokter. Ya, seorang Dokter.

Aku melihat sekitarku. Serba putih. Ada apa dengan diriku? Megapa mama bilang aku sudah sadar? Aku merasa kepalaku pusing.

“kalian semua bisa keluar..” ujar dokter itu menyuruh mereka keluar. Dan mereka semua keluar mengikuti perintah dokter.

--

“huaa.. Bii. Aku senang kamu sudah sembuh, kamu tau aku kangen sama kamu.” Fara memelukku erat. Dia mulai menangis kembali.

“Bii. Kelas sepi nggak ada kamu.” Nana memegang tanganku.

“Kamu harus meramaikan kelas lagi Bii.” Moci tersenyum menyemangatiku.

“kami semua kangen sama kamu Bii. Sangat kangen. Kami merasa kesepian saat kamu tak ada.” Kiko, sang ketua kelas mengelus kakiku.

--

“sayang, kami semua kangen sama kamu. rumah sepi, nggak ada canda tawamu.” Mama menangis bahagia.

“kamu harus semangat. Nggak ada yang bawelin aku lagi nanti.” Kak Steve memegang tanganku.

“papa bawain ini untuk kamu.” papa memberikan sebuah baju bola, yang sudah lama kuinginkan. Jersey Mezut Ozil.

Aku tersenyum senang.

--

“Bii, aku sayang kamu.” Dega memegang tanganku erat dan menciumnya. “sudah lama aku suka sama kamu. Semenjak pertama kali kita bertemu. Sudah lama juga aku ingin menyampaikan isi hatiku. Aku kira semuanya akan terlambat. Ternyata tidak.” Dia mencium keningku. “maukah kau menjadi pacarku, wahai Bian yang cantik.” Dia tersenyum padaku.

Aku mengangguk.

--

Kini aku menyadari semuanya.

Semua yang aku alami kemarin. Semua hanya ketakutanku, ketakutan akan kehilangan sosok seorang ibu yang selalu memberi warna cerah dalam kehidupanku, memberi kasih sayang yang besar untuk keluarga.

Kehilangan sosok seorang ayah yang menjadi pemimpin dalam keluargaku. Menjadi iman dalam setiap waktu yang kami lalui bersama.

Kehilangan sosok seorang kakak yang bisa menjadi pelipur laraku, menjadi orang yang bisa kubanggakan, menjadi seorang yang bisa mengerti tentang diriku.

Kehilangan sosok seorang sahabat yang selalu ada dalam kehidupanku. Bukan hanya suka saja, tetapi juga duka.

Kehilangan sosok seorang yang ku cintai, yang nantinya akan menjadi pendampingku. Menjadi orang yang akan menemani hari – hariku selamanya.

Kehilangan sosok teman yang bisa membuat hari – hari yang membosankan terasa menyenangkan, merubah sedih menjadi senang.

Ya, sebenarnya aku hanya takut kehilangan mereka. Itu saja.

Nyatanya mereka masih menyanyangiku. Menemaniku di sini, hingga aku sembuh dari koma yang aku alami. Semenjak aku tertabrak sebuah truk yang melintas di hadapanku.

Kini aku tak ingin ketakutan menghampiriku lagi. Aku tak kan menyiakan semua ini.

Ya, aku sayang mereka. Dengan sepenuh hati.

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar