heiyo..

Foto saya
suka putihitembiru. jhenkelind banget. hanya seorang mahasiswi desain.

Minggu, 06 November 2011

Tentang Sebuah Kisah


Tentang Sebuah Kisah


Hari ini jalanan begitu ramai dengan hiruk pikuk orang – orang yang berlalu lalang. Begitulah suasana jalanan ini di siang hari yang selalu ramai. Tak pernah sepi, sekalipun itu di malam hari. Ada saja yang mereka kerjakan, mulai dari berjualan, bekerja, menyapu jalanan, atau apapun itu.

Aku melihat sekitarku. Ada seorang anak yang merengek minta dibelikan es krim, tapi sang ibu tidak mendengarkan anak itu. Dia berjalan acuh tanpa memperhatikan anaknya. Anak kecil itu masih saja menangis dengan lantangnya, bahkan dia duduk di aspal sambil memainkan kaki – kaki mungilnya.

Kini, anak itu menjadi bahan tontonan bagi orang – orang yang lewat. Sang ibu dengan sigap menoleh ke arah belakang dan segera membelikan es krim untuk anaknya. Anak kecil itu terlihat kegirangan, karena es krim yang dimintanya sudah ada di tangannya kini.

Tak jauh dari tempat anak dan sang ibu tadi. Aku melihat sepasang kekasih yang sedang duduk dengan mesra. Mereka saling bercanda. Sang lelaki memeluk mesra pinggang sang wanita. Sedang asyiknya mereka berpacaran, melintas seorang perempuan dengan pakaian yang sangat minim. Boleh dibilang, auratnya kelihatan kemana – mana.

Refleks sang lelaki menatap perempuan yang sedang melintas di depan mereka dengan lekat. Dan sang pacar tak suka melihat lelakinya menatap perempuan lain. Seketika wanita itu berdiri dan menampar pipi sang lelaki dan bergegas pergi dari sana. Sontak sang lelaki itu berdiri dan berusaha mengejar wanita itu.


Masih di jalan yang sama. Aku melihat seorang kakek yang tuna netra, dia ingin menyebrang jalan. Tapi dia tak berani, dia hanya diam. Menunggu seseorang membantunya. Tapi nihil, tak ada seorang pun yang mau membantunya. Mereka hanya memandang acuh ke arah sang kakek. Mereka sama sekali tak mau membantu sang kakek.

Aku heran melihat mereka yang -sok- sempurna, mereka memiliki panca indra yang lengkap. Tapi tidak memiliki hati nurani yang mulia. Aku ingin membantu kakek itu. Tapi, di sini, aku sama seperti kakek itu -yang tak sempurna-.

Tak berapa lama, ada gerombolan lelaki muda -boleh dibilang, slenge’an- dengan pakaian ala rocker. Rambut yang di warna, pakaian yang amburadul, sepatu boot yang tinggi, telinga penuh dengan anting – anting. Penampilan yang sangat tidak menarik dan rapi.

Tapi siapa sangka, gerombolan lelaki muda itu mau membantu sang kakek menyebrangi jalan. Benar kata pepatah yang mengatakan : “Jangan lihat seseorang dari luarnya saja, tetapi dari dalam dirinya juga”. Sedari tadi aku memperhatikan orang – orang yang berlalu lalang di sekitar sang kakek, hanya gerombolan dengan penampilan tidak menarik itu yang mau menolongnya.

Padahal, ketika aku melihat mereka yang melewati sang kakek dengan acuh, penampilan mereka terlihat bersahaja, rapi dan terpandang. Beda jauh dengan gerombolan anak muda tadi. Aku tersenyum sinis dengan kenyataan yang ada. Sepicik itukah kelakauan orang – orang jaman sekarang? Entahlah, aku tidak tahu.

Tak jauh dari tempat dudukku, beda dua meja mungkin. Aku melihat gerombolan anak muda, beda dengan gerombolan anak muda yang tadi. Gerombolan yang ini lebih rapi dan berpendidikan. Ada dua anak perempuan dan 3 anak lelaki. Mereka saling bercerita, tertawa dan merokok.

Ya, mereka berlima merokok dengan santai di depan umum. Oke, kalau melihat lelaki merokok, aku masih tak peduli. Tapi apa yang kulihat? Dua anak perempuan tadi, ternyata ikutan merokok. Bahkan cara mereka merokok lebih piawai ketimbang anak lelaki itu. Seolah mereka yang mengajarkan tiga anak lelaki itu merokok.

Mataku masih melihat – lihat daerah sekitar. Mencari kejadian yang menarik kembali.  Kini, mataku tertuju pada sesosok perempuan manis yang terlihat gelisah. Dia melihat jam tangannya terus menerus, seolah dia sedang di kejar waktu.

Aku masih memperhatikannya. Dia terlihat lelah berdiri, mencari sesuatu yang tak pasti. Dia berjalan kearahku, duduk tepat di sampingku. Aku ingin menegurnya, mengajaknya berbicara. Tapi apa daya, aku tak mampu. Aku terlalu malu jika harus berhadapan dengan wanita seperti ini.

Telepon genggamnya berbunyi dengan nyaring, dia segera mengangkat telepon itu. Samar aku mendengar dia berbicara dengan seseorang di telepon itu.

“Lo kenapa sih selalu buat gue menunggu?”

“Kesiangan? Ketiduran? Alasan lo basi. Sudah terlalu sering alasan itu lo ucapin ke gue. Gue capek dengan tingkah lo.”

“Cinta? Sayang? Lo yakin masih cinta sama gue? Sayang sama gue?”

“Oke, gue maafin lo. Asal lo nggak seperti itu lagi. Gue capek, Hen.”

“Oke. See you.”

Perempuan itu menutup teleponnya dan memasukkannya ke dalam tas slempang berwarna hitam. Perlahan, aku melihat butiran kecil mengalir di pipinya. Membentuk sebuah anak sungai. Aku ingin menyeka air mata itu.

“Lo kenapa sih, Hen. Setiap kita janjian ketemuan, lo selalu saja ada alasan untuk telat. Lo beda, Hen. Lo udah nggak kayak dulu. Gue inget saat kita pertama kali pacaran, lo selalu datang lebih dulu daripada gue. Kadang lo jemput gue. Tapi lo yang sekarang beda.”

Aku mendengarnya berkeluh kesah. Butiran kecil itu masih saja mengalir dengan indah di pipinya. Jujur, aku tak suka melihat perempuan ini menangis.

“Sebenarnya cinta itu seperti apa sih? Perasaaan, gue selalu mengalah salah lo, Hen. Lo selalu menang dari gue. Setiap lo yang berbuat salah, kenapa mesti gue yang minta maaf sama lo? Giliran gue yang salah, lo malah marah – marah sama gue. Lo nggak mau maafin gue, lo diemin gue selama berhari – hari. Sampai gue harus minta maaf sama lo. Itukah cinta sebenarnya?”

Aku tersentak mendengarkan perkataannya? Cinta macam apa itu? Itu bukan cinta namanya. Cinta sejati tidak seperti itu. Seandainya aku tidak malu seperti ini, aku ingin menyampaikan sesuatu padanya. “Hei gadis, itu bukan cinta. Kamu hanya dipermainkan oleh lelakimu. Cinta tak seperti itu. Cinta tak egois, cinta saling memaafkan, cinta saling memberi, cinta memang saling mengalah. Tapi bukan mengalah seperti itu, cintanya dia ke kamu hanya cinta yang egois.”

“Sepertinya cinta lo ke gue, cinta egois ya, Hen? Lo nggak pernah mau mendengarkan alasan gue, saat gue ada salah sama lo. Tapi lo selalu memberikan alasan yang sama setiap lo ada salah sama gue. Apa lo mempermainkan gue, Hen? Gue tulus sayang sama lo.”

Perempuan itu masih saja menangis. Dia pun masih berkeluh kesah, seolah Hen –yang dipanggilnya tadi- ada di hadapannya. Tuhan, andai aku tak sepemalu ini, aku ingin membagi beban dengannya. Menyeka air matanya.

Dia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Dia membuka lembar demi lembar buku itu. Selembar  foto terjatuh dari dalam buku itu. Dia memungutnya. Sekilas, tampak senyum membingkai di wajah manisnya.

“Gue sayang sama lo, Hen. Lo tau kenapa gue selalu mengalah dan memaafkan setiap kesalahan lo? Karena lo berarti buat gue. Gue tulus sayang sama lo. Gue nggak bisa membenci lo walau ingin. Gue nggak bisa menjauh dari lo walau ingin. Gue akan selalu menjaga kepercayaan lo juga janji – janji lo.”

Perempuan itu kembali menangis dengan senyum yang terukir di wajah. Samar aku melihat wajah lelakinya itu. Dia berdiri dengan tegak, tubuhnya memang proposional. Wajahnya ganteng, dia pantas untuk menjadi model. Di sampingnya, perempuan itu memegang es krim yang mulai meleleh.

Aku tak sanggup melihat perempuan ini terus menerus menangisi lelakinya. Kalau aku boleh jujur, aku mencintainya. Cinta pada pandangan pertama lebih tepatnya. Belum pernah aku merasa jatuh cinta seperti ini.

Aku sering menjumpai perempuan – perempuan lain. Tapi aku belum pernah menemukan perempuan seperti perempuan yang ada di sampingku ini. Jika disandingkan dengan lelakinya itu, dia jauh berbeda. Perempuan ini pendek, jauh beda dengan lelakinya. Tubuhnya tidak proposional, tidak terlalu gemuk tapi juga tidak terlalu kurus.

Wajah dan senyum manis ini yang menambah aura kecantikan, yang ada pada dirinya. Walau dia tak secantik putri Indonesia. Tapi wajah manis alaminya ini mampu membius siapa saja yang berada di dekatnya termasuk aku.

“Hei, gadis. Tahukah kamu? Aku mencintaimu, sejak awal kamu duduk di sampingku. Aku ingin sekali menyeka air mata yang membasahi pipimu itu. Aku ingin mengenalmu, lebih dekat. Tapi apa mungkin? Kamu sudah ada yang memiliki. Apa dayaku?”

Dia melirik arloji yang ada di tangan kanannya itu, kemudian dia memasukkan buku catatan yang dikeluarkannya tadi.

“Hah? Sudah jam segini? Gue mesti cabut sekarang, bentar lagi les Matematika sudah mau di mulai.”

Dia beranjak dari duduknya dan mencari taksi. Untuk membawanya menuju sebuah tempat, yang aku tak tahu dimana.

Hari semakin sore. Aku kembali sendiri menikmati soreku, tak ada perempuan itu lagi. Andai tadi aku bisa berkenalan dengannya. Ah, namanya saja aku tak tahu. Siapa nama perempuan itu? Mungkinkah aku akan bertemu dengannya?

Baru saja dia beranjak dari sini, tapi aku sudah merindukannya kembali. Aku ingin melihat wajahnya yang gelisah, melihat senyumnya, dan menyeka air matanya. Entah mengapa dan entah bagaimana, perempuan itu mampu memenuhi pikiranku.

Aku memandang sekitar jalanan kembali. Mencari kembali kejadian yang menarik. Aku melihat anak jalanan yang duduk di bawah pohon, dia menghapus peluh yang berjatuhan dari atas kepalanya. Sepertinya dia lelah sekali. Dia menghitung lembaran uang yang di dapatnya saat mengamen tadi.

Tak jauh dari tempatnya duduk, beberapa orang preman dengan wajah garang mendatanginya. Dia merebut uang dari anak jalanan itu. Anak itu memohon, menyembah kaki sang preman, agar uangnya di kembalikan. Tapi nihil, sang preman tak peduli dengannya.

Anak jalanan itu menangis dalam diamnya, sesekali dia menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipinya. Tak berapa lama, seorang anak kecil datang padanya. Anak kecil itu seperti anak dari kalangan yang berada, terlihat dari pakaian yang digunakannya. Rapi dan wangi, tidak lusuh seperti dirinya. Kira – kira anak itu berusia 8 tahun, lebih muda muda 3 tahun darinya.

Anak kecil itu memberikan beberapa makanan dan juga beberapa lembar uang kepada anak jalanan itu. Dia menatap lelaki cilik ini dengan pandangan tak percaya. Tak jauh dari mereka, terlihat seorang bapak dan ibu mengangguk dengan ikhlas.

Hasil jerih payahnya yang diambil oleh beberapa preman itu terbayar dengan kedatangan anak kecil dan orang tuanya itu. Kemudian anak jalanan itu tersenyum ke arah anak dan orang tuanya itu. Sepeninggal mereka, dia memakan nasi yang diberikan anak itu dengan lahap.

Dari sini, aku miris melihatnya. Dalam balutan kemewahan dan kekerasan hidup ini, masih ada hati mulia yang mau untuk saling menolong. Mau untuk berbagi dengan sesamanya.

Tapi masih saja ada hati licik penuh dengan ketidak tanggungjawaban. Di seberang jalan sana, ada seorang bapak yang tertabrak mobil, cukup kencang. Bapak itu jatuh dengan darah yang membasahi kaki dan tangan kirinya.

Dengan seketika mobil itu berlalu dengan kencang menghindari kerumunan itu, seolah tak mau bertanggungjawab dengan perbuatan yang dilakukannya. Orang – orang di sekitar segera menolong sang bapak dan meneriaki si pengendara mobil dengan umpatan – umpatan yang keluar dari mulut mereka.

Kini mataku tertuju ke sepasang manusia yang baru saja keluar dari mobil. Dia duduk tak jauh dariku. Aku merasa pernah melihat wajah lelaki ini. Tapi siapa dan dimana? Entahlah aku lupa.

Aku kembali melihat sekitarku. Tapi samar, aku mendengar perbincangan mereka. Mereka tertawa dengan keras dan senang. Seolah yang mereka bicarakan itu sangantlah lucu dan pantas untuk di tertawakan.

“Haha, jadi lo bilang ke dia, kalo lo bangun kesiangan? Haha. Basi banget alasan lo.” Ujar temen wanitanya dengan rokok di tangannya.

“Tapi dia percaya sama gue. Dia itu nggak bisa lepas dari gue.”

“Jahat banget si lo.”

“Tapi lo senang kan? Haha, kita bisa morotin duitnya terus – terusan. Mobilnya aja masih gue pake. Dia kan anak orang kaya, duitnya dimana – mana.”

“Haha, bener juga sih. Tapi lo beneran nggak cinta sama dia?”

“Cinta sama cewek kayak gitu? Nggaklah. Cinta gue cuma lo. Sayang gue juga cuma lo, nggak ada yang lain. Apalagi anak SMA macam begitu. Nggak banget. Badannya jelek. Nggak asik.”

“Tapi kan lo senang main sama dia?”

“Cuma sekali doang, itu pun biar dia merasa terikat sama gue. Dan mau memberikan duitnya buat gue.”

“Haha. Salut gue sama lo. Beruntung gue pacaran sama lo.”

“Udahlah lupakan anak SMA cupu itu.”

“Lihat dong fotonya, gue pengen ngebayangin mukanya jika dia tahu tentang kita.”

Lelaki itu membuka dompetnya dan mengeluarkan sebuah foto. Samar aku melihat foto itu. Sungguh, betapa kagetnya aku.

Terlihat jelas, wajah perempuan yang tadi siang menangis di sampingku. Jadi, lelaki ini pacarnya perempuan itu? Pantas saja wajahnya seakan tak asing bagiku. Betapa jahatnya dia pada perempuan yang kucintai ini.

Aku ingin sekali berdiri dan memukulnya hingga babak belur. Tapi, aku tak bisa memaafkan perbuatan biadab orang ini. Sungguh tega dia terhadap perempuan lugu yang tak berdosa dan tak tahu apa – apa ini.

Aku membayangkan saat wanita itu menangis, berkeluh kesah tentang lelakinya. Seandainya tadi aku bisa menyeka air mata itu, menenangkannya, dan bisa menjadi pelipur lara untuknya.

Tapi apa dayaku? Aku hanya sebuah mekanin Ronald McDonald, yang hanya bisa duduk dengan senyum di bibir merah dan rentangan kananku saja.

Aku hanya bisa melihat orang yang berlalu lalang di sekitarku. Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku tak ingin hanya melihat itu semua, aku pun ingin menolong mereka yang kesusahan.

Seperti menyeka air mata perempuan yang tadi siang menangis di sampingku. Tapi aku tak bisa apa – apa, aku hanya berdiam diri seperti ini. Aku tak bisa membahagiakan seseorang yang kucintai dari perbuatan biadab laki – laki yang kini ada di hadapanku.

Kadang aku berpikir, aku cukup bahagia dengan diriku yang sekarang ini. Aku bisa melihat kejamnya dunia. Melihat orang – orang yang sok sibuk, tanpa mau membantu. Melihat sebuah kemuliaan hati dari seorang anak kecil. Banyak pelajaran yang aku ambil dari mereka, walaupun aku hanya sebuah patung.

Tapi di satu sisi, aku merasa terhina dengan keadaanku ini. Bagaimana tidak, saat seseorang yang aku cintai menangis di sampingku, aku hanya bisa diam tanpa bisa menyeka air matanya.

Aku berharap, kelak perempuan itu bisa bertemu dengan lelaki yang tepat untuknya. Mungkinkah denganku yang berenkarnasi menjadi manusia?

Kita lihat saja nanti. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar