Cerita dalam Sebuah Kenyataan.
Aku suka menulis. Menulis bagiku adalah sebuah kenikmatan yang bisa aku curahkan di sana. Aku suka membuat cerita, dimana aku bisa berimajinasi sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dimana tak seorang pun bisa mengganggunya.
Menulis bagiku, dimana aku bisa menumpahkan semua yang aku rasakan. Amarahku, kesenanganku, kegelisahanku, kesedihanku, semuanya bisa aku curahkan dalam tulisanku.
Kadang aku berpikir, jika sebuah kisah dalam sebuah cerita itu ada dan nyata. Apalagi jika happy ending. Aku ingin. Aku ingin jika sebuah tulisan yang aku buat itu nyata.
Aku tahu, itu semua mustahil terjadi. Khayalan hanyalah sebuah khayalan, kemungkinan ada dan nyata itu sedikit. Jika memakai presentase 100%, maka 25% dari 100% itu bisa terjadi. Selebihnya, mustahil. Itu bagiku.
Kadang aku juga berpikir, jika kisah dalam cerita dan kisah dalam kenyataan beriringan sejalan bersama menjadi satu. Sepertinya lucu.
Entah, menurut kalian analogi menulis itu apa. Pendapat kita berbeda bukan?
--
Burung-burung bersiul dengan merdunya, menyemarakan keramainan di pagi ini. Matahari mengintip dari persembunyiannya, seolah siap membangunkan siapa saja makhluk hidup yang masih terlelap dalam tidur lelapnya.
Samar, matahari masuk ke kamarku melalui celah-celah jendelaku. Semakin lama, kilauan matahari itu semakin terang. Aku menyipitkan mataku, mencoba bangun dari tidur nyenyakku.
“Eh neng Gadis, sudah bangun rupanya.” mbok Darsih, salah seorang yang bekerja di rumahku, menyiapkan air hangat di kamar mandiku. Sudah kebiasaan, jika mbok Darsih menyiapkan air hangat untukku mandi, tepat saat aku bangun dari tidurku.
“Airnya sudah siap, Neng.” sahutnya kembali.
“Hmm. Makasi ya mbok.” jawabku malas.
Rasanya aku malas beranjak dari tempat tidurku, aku malas masuk kuliah. Tapi jika mengingat semua hal tentang kampus, aku jadi semangat untuk masuk. Aku bergegas ke kamar mandi dan menyiapkan diri untuk ke kampus.
Selesai mandi, aku segera menyiapkan apa saja yang akan aku bawa ke kampus. Mulai dari tugas yang dikumpulkan hari ini sampai komik dan iPod kesayanganku. Setelah semua siap, aku beranjak menuju lantai satu. Ke ruang makan.
“Heh, anak Mama sudah cantik. Ini makanan kesukaanmu sudah mama siapkan.” ujar Mama lembut, ketika melihatku menuruni tangga.
“Waa, soup asparagus! Makasi ya Mama sayang.” aku mencium pipi kanan Mama dengan penuh kasih sayang.
“Ya, udah makan gih, ntar telat lho ke kampusnya.”
“Iya, Ma. Siap.”
“Hei, adek bawel. Kamu ke kampus bareng aku kan?” ucap kak Pria, kakakku, seraya duduk tepat di depanku.
“Pastilah, Kak. Toh, kampus kita sama kan?”
“Kalau gitu, buruan gih makannya. Ntar telat.” dia asyik menorehkan selai di roti tawar. Jika sarapan, ia memang lebih dominan memakan roti daripada nasi. “Lho Ma, Papa mana? Udah berangkat?”
“Udah daritadi, Papa ada rapat.”
“Ya, udah Ma. Kami berangkat dulu ya?” ucapku kemudian.
“Iya, hati-hati di jalan ya sayang. Pria, jaga adikmu baik-baik lho ya.”
“Siap, Ma.” jawab kami kompak.
--
Aku masih berguling-guling ria dalam tidurku. Rasa kantuk ini masih berjelajah di pagiku yang cerah ini. Matahari menerobos masuk ke dalam ke kamarku, tanpa kuminta.
“Woi, bangun. Udah pagi nih. Nggak kuliah?” samar aku mendengar sebuah suara membangunkanku.
“Woi, bangun!” dia menggoyang-goyangku tubuhku dengan kasar.
Aku segera bangun, walau masih dalam keadaan mengantuk. Aku tak mau dibangunkan dengan cara seperti itu. Aku melihat adikku, Pram, membangunkan dengan kasar.
“Apaan sih kamu! Bisa kan kalau bangunin orang dengan baik, jangan kayak gini.” Aku melirik tajam ke arahnya.
“Kamu, kalau nggak diginiin, nggak bakalan bangun. Aku tau sifat kamu.”
“Tolong jangan ikut campur masalahku.”
“Ah bodo deh! Udah dibangunin juga.” keluhnya seraya keluar dari kamarku.
Aku segera keluar kamar dan beranjak ke kamar mandi. Setelah mandi dan bersiap-siap, aku mengambil telepon genggam dari meja belajarku. Dan dengan segera aku mengirinkan pesan singkat ke Agni, sahabat.
“Ni, bareng donk. Udah berangkat belum?”
Selesai menulis, aku segera mengirimkannya. Lama aku menunggu balesannya.
“Oke. Aku habis mandi ini. Tunggu aja ye.”
Jika disuruh memilih, aku malas ke kampus. Males menilhat senior yang suka seenaknya, melihat junior yang cueknya minta ampun, walaupun itu sama kakak kelasnya. Suasana kala aku semester 1 dulu, kini berubah drastis.
Tak berapa lama, Agni datang dengan motor Mio kesayangannya. Dan kamipun segera melaju menuju kampus.
“Ni, ntar ke kantin dulu ya? Aku laper.”
“Yoha, aku juga laper banget.”
--
Akhirnya, aku sampai kampus juga. Aku segera turun dan dari motor ninja kak Pria. Aku tahu, banyak mata yang tak senang jika aku dibonceng kak Pria. Siapa yang tak kenal kak Pria? Banyak cewek yang suka padanya, mungkin hampir seisi kampus ini. Kak Pria adalah sosok cowok yang sempurna. Dia cakep, baik, pintar dalam segala hal (entah dalam bidang akademik ataupun non akademik), ketua HIMA (himpunan mahasiswa), itulah kak Pria.
Aku melangkah menuju kelasku di lantai tiga. Belum sempat beberapa langkah, sebuah tangan menarikku.
“Dis, tungguin aku donk.” tak perlu menoleh, aku sudah tahu jika itu Widi. Widi adalah teman sekelasku. “Iih Dis, aku iri deh sama kamu.”
“Hah? Iri? Kenapa?”
“Kamu bisa pulang pergi sama kak Pria. Aku juga mau, Dis.”
Aku mengeryitkan dahi, “yaampun, Widi. Kak Pria itu kakak aku, wajarlah kalau aku bisa pulang pergi sama dia.”
Kami bergegas ke lantai tiga. Dalam setiap perjalan kami menuju lantai tiga, banyak mahasiswa lain yang menyapaku. Entah say hello ataupun bertanya tentang hal-hal yang nggak perlu. Seperti saat ini.
“Hei, Dis. Gimana kabar?” tanya Satrio, ketika kami berpapasan di tangga lantai dua.
Lagi. Aku mengeryitkan dahi, “baik kok, Sat. Kamu?”
“Baik juga, Gadis.” dia membalas pertanyaanku dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Hmm, aku ke kelas dulu ya, Sat.” ujarku malas. Betapa tak pentingnya dia, padahal kami sering bertemu. Apalagi jika ada kumpul angkatan.
“Hei, Gadis.”
“Gadis.”
Aku hanya bisa tersenyum, jika ada yang menyapaku. Bukannya aku sombong, tapi aku cukup terkenal dikalangan senior, junior maupun dosen. Bagaimana tidak, kakakku memegang kekuasaan di tahun ini, karena dia menjadi ketua HIMA. Siapapun mengenalnya, karena hal itu, akupun sebagai adiknya ikutan terkenal juga.
Bukan hanya itu saja, tapi karena senyumku yang manis, juga karena aku cukup pandai untuk bergaul dengan siapa saja. Aku dapat dengan cepat mengakrabkan diri dengan senior ataupun junior.
Kalau dalam akademikpun, nilai-nilaiku tak pernah hancur. IP-pun lebih sering cumlaude. Tak jarang para dosen, menyuruhku mewakili jurusan dalam lomba-lomba yang diadakan di nasional maupun internasional.
Aku cukup bangga dengan semua ini. Bangga dengan diriku dan juga kehidupanku.
--
Aku segera turun dari motornya Agni. Lapangan parkir sudah terpenuhi oleh motor juga mobil para mahasiswa. Aku melihat sekitar lapangan, masih sama seperti biasanya. Sumpek dengan banyaknya motor-motor, panas karena tak ada pohon yang rindang.
“Hei ngelamun aja. Ayo ke kelas.” Agni membuyarkan segala lamunanku.
“Hah? Iya. Iya.”
Kami segera melangkah menuju lantai 3, dimana kelas kami berada. Belum sempat beberapa langkah, sebuah suara menyuruh kami berhenti.
“Hei tunggu!” teriaknya keras.
Kami menoleh dengan malas, “apa sih, Deb?” Ya, dialah Debi. Teman sekelas kami. Suaranya sangat keras, mengelegar kemana-mana.
“Tunggulah, barengan dong ke atasnya. Eh, tugas kalian gimana? Udah? Punyaku baru jadi dikit. Duh, gimana nih?” cerocosnya tanpa tanpa henti. Aku dan Agni hanya mendiamkannya.
“Apaan deh, jawab dong!”
“Belum, Deb.” jawab kami malas.
“Yes, berarti aku ada temennya dong? Asyik!”
Kami segera ke kelas. Lantai tiga. Malas rasanya menapaki tangga menuju lantai tiga. Seperti ada sesuatu yang membebani kami. Pegal. Beda jika turun tangga.
Dalam perjalanan menuju lantai tiga, banyak kutemui senior maupun junior yang membuatku malas untuk ke kampus. Ada beberapa teman seangkatanku juga, tapi kami saling diam. Kami tak saling menyapa, mungkin karena kami beda kelas.
Tak ada yang menyapaku. Aku memang tak terkenal di kampus ini, hanya beberapa orang saja yang mengenalku. Itupun tak lebih dari teman kelasku dan beberapa teman angkatanku.
Aku tak punya kelebihan apapun, akademikku biasa saja. Aku tak pandai berorganisasi, aku tak pernah ikut kegiatan apapun yang dilakukan oleh kampus ataupun jurusan. Mungkin karena itu, wajar saja jika tidak ada yang mengenalku. Siapa aku?
Ah, aku muak dengan semua ini.
--
Rupanya, kelas sudah mulai ramai. Aku duduk di salah satu bangku yang terletak tak jauh dari AC. Alvin dan Deta duduk di sampingku. Sebelumnya, mereka tersenyum padaku. Memang teman terdekatku. Kami sering pergi bersama, kami merasa kompak. Aku belum menemukan teman seperti mereka.
Tak berapa lama, dosen yang mengajar kami masuk dengan dua orang asdos bersamanya. Beliau mulai menuliskan tentang tugas yang akan kami kerjakan.
“Ya, kalian bisa memilih kelompok terserah kalian. Satu kelompok berisi 8 orang. Dan tugas ini dikumpulkan hari ini, kalau sudah jadi taruh di meja kalian. Jam 3, ibu akan masuk dan memeriksa tugas kalian, langsung ibu beri nilai.”
Seperti yang sudah-sudah, jika kami disuruh membuat kelompok, mereka dengan segera mungkin mengajakku kelompokan. Dan selalu yang kelompokan denganku, yang itu-itu saja. Gagas, Yayan, Ikank, Erial dan Roland.
Samar, aku bisa mendengar, mereka mengeluh. Mengapa aku selalu kelompokan dengan mereka ini, bukan dengan yang lainnya. Kadang aku berusaha lepas dari mereka, dan berbaur dengan yang lain. Terlihat dari wajah mereka, jika mereka senang kalau aku satu kelompok dengannya.
Aku melihat teman-teman sekelompokku. Alvin, Deta, Gagas, Yayan, Ikank, Erial dan Roland. Teman sekolompokku selalu cowok, entah mengapa, mungkin karena aku yang sedikit seperti lelaki. Aku selalu nyaman jika dekat dengan cowok, tak ada gosip yang lebay, tak acara ‘dandan mendandan’ dan tak ada tangis ketika putus cinta.
“Akhirnya selesai juga.” senyum Erial dengan bangga.
Ya, tugas kami sudah selesai. Sebuah kaca tersusun rapi dengan bentuk yang cukup unik. Kami tersenyum bangga akan tugas yang kami kerjakan dengan hasil yang memuaskan.
Jam 3 tepat, bu Anne masuk ke kelas kami. Kami disuruh keluar kelas, menunggu. Jam 4 kurang 10 menit, bu Anne menyuruh kami masuk.
“Hasil tugas kalian bagus-bagus, ibu bangga. Terutama kelompoknya Gadis. Selalu jika ada Gadis, di salah satu kelompok kalian, hasilnya bagus. Ibu tahu, jika kelompok ini tanpa Gadis pasti hasilnya tak sebagus ini.”
Aku tersenyum malu, saat bu Anne menyebutkan namaku. Semua mata di kelas, menatapku dengan senang campur heran. Tak lama kemudian mereka bertepuk tangan.
Kadang aku berpikir, apa mereka tak iri denganku? Apalagi namaku selalu disebutkan, hampir setiap dosen. Tapi jika aku melihat wajah mereka, mereka seperti bangga terhadap keberhasilanku.
“Ya udah, karena udah ibu nilai. Kalian bisa membawa tugas ini pulang.” ujarnya seraya keluar kelas.
Beberapa anak, segera membawa tugas mereka ke bawah. Begitupun dengan kelompokku. Yayan dan Erial membawa tugas itu dengan hati-hati, apalagi tugas itu dari kaca. Takut jika pecah.
“Dis, pulang sama siapa? Sama kak Pria?” tanya Alvin.
“Nggak tau nih, aku belum bilang sama kak Pria. Kenapa emang, Vin?”
“Pulang sama kita ajak yuk? Kita jalan yuk?” ajak Deta.
“Boleh deh, aku sms kak Pria dulu ya?”
Setelah mendapat balasan dari kak Pria, kami segera menuju parkiran dan menelusuri hirup pikuk kota ini.
--
Kelas masih sepi, hanya ada beberapa manusia saja yang ada di kelas ini. Aku tak tahu pasti, yang lain pada kemana. Aku duduk di bangku kesayanganku, dekat dengan jendela.
“Eh, Ra, di sampingmu sapa?” tanya Galih padaku.
“Hah?”
“Yang duduk di sampingmu siapa?’
“Ooh, nggak ada.”
Galih langsung duduk tepat disamping kiriku sedangkan di samping kananku telah diduduki Agni. Jika saja kelas ini tak penuh, sudah dipastikan Galih tidak akan duduk tepat di sebelahku. Hanya kelas sudah penuh, sehingga dia –dengan berat hati- duduk tepat disampingku.
Tak berapa lama, bu Anggre datang dengan 2 asdos bersamanya. Beliau mulai menerangkan tugas yang akan kami kerjakan hari ini.
“Oke, jadi tugas kalian membuat sesuatu dari kayu es krim. Tugas ini berkelompok. Satu kelompok terdiri dari 8 orang. Tugasnya dikumpul hari ini, letakkan di meja kalian. Nanti ibu periksa, sekaligus memberikan nilai.”
Bu Anggre dan 2 asdos itu segera keluar. Kelas ini mulai ribut, mereka mulai mencari kelompok. Aku menatap malas ke arah mereka. Seperti yang sudah aku duga. Tak ada satupun anak yang mau mengajakku berkelompok –jika tidak terpaksa-. Kelompokku selalu ada Agni dan Debi.
“Eh, Ra. Kelompokmu sapa?” tanya Tanya padaku.
“Belum dapat, Tan. Paling cuma sama Debi dan Agni saja.”
“Gabung sama kelompok kami ya?” ajaknya dengan nada malas.
“Boleh deh.”
Aku menatap kelompok ini satu persatu. Ada Tanya, Galih, Weda, Ridho, Bayu, Agni dan Debi. Terlihat dari wajah mereka, jika mereka malas berkelompok denganku. Kecuali Agni dan Debi.
Tapi kami tak mau ambil pusing, kami segera menyelesaikan tugas ini dengan serius. Kadang kala mereka bersenda gurau –bukan denganku.
“Akhirnya selesai juga. Lumayanlah.” sahut Ridho.
Tepat jam 3, bu Anggre dan kedua asdos masuk ke kelas kami dan segera menilai tugas-tugas kami ini. Setelah selesai menilai mereka menyuruh kami berkumpul.
“Hasil tugas kalian cukup bagus. Ibu suka. Terutama dengan kelompoknya Cahya, selalu bagus. Hmm, kelompoknya Dara kenapa ini? Berantakan dan tidak rapi. Kalian kenapa, kerjanya sambil main-main ya?”
Kami hanya diam. Ah, selalu jika ada aku dalam satu kelompok pasti hancur. Lihat saja saat ini, tugas kelompokku hancur. Dan..
“Ra, kamu bawa pulang aja tugas ini ya?” Tanya memohon padaku. Aku hanya tersenyum tipis.
“Ra, yuk kita balik?” ajak Agni. Aku melangkah malas menuju parkiran.
Tanpa sengaja aku menatap Radit, cowok yang selama ini aku sukai. Dia berjalan tepat di sampingku, bersama dengan teman-temannya. Dia hanya berlalu begitu saja. Tak jauh dari situ, aku melihat kak Ferly. Cowok yang selama ini mampu mencuri perhatian cewek-cewek, aku mendambakan memiliki kakak seperti itu.
“Ayuk Ra, ngelamun aja.” Agni menarik tanganku.
--
Lelah rasanya berjalan-jalan dengan Alvin, Deta dan beberapa temanku yang lain. Tak terasa magrib menjelang. Aku segera mandi, menyegarkan diri dari lelahnya hari ini.
“Ahhh segaaar.”
Drrt.. Drrtt..
Aku mengambil telepon genggamku di atas kasur. Aku melihat layar hapeku. Ada sebuah pesan singkat ruapanya. Tertera nama Willy di sana.
“Hei, Gadis. Kamu lagi apa, malam minggu gini?”
Aku tersenyum senang membaca kata-kata yang mucul di layar telepon genggamku ini.
“Lagi bosan. Hehe.”
“Jalan yuk? Mau?”
“Boleh deh.”
“Aku jemput kamu jam setengah 8 ya.”
Aku segera berganti pakaian dan bersiap-siap. Willy akan menjemputku. Senang rasanya hari ini. Aku akan berkencan dengan Willy, cowok yang sudah lama aku taksir. Dia teman seangkatanku, hanya saja kami beda kelas.
Tepat jam setengah 8, dia sudah ada di depan pagar rumahku. Tanpa menunggu lama, aku segera berlalu ke tempatnya.
“Yuk, Dis.”
Aku memasuki mobil Swift hitam Willy. Dia mengarahkan mobilnya ke sebuah restoran mewah. Kami memasuki restoran itu. Ternyata dia sudah memesan tempat di sana, dekat dengan kolam. Aku memerhatikan kolam itu dengan seksama, ada tulisan :
“I LOVE YOU, GADIS”
Aku menatapnya heran. Dia beranjak dari duduknya, berjongkok di depanku. Menggenggam tanganku, dan berkata :
“Gadis, maukah kamu jadi pacarku?”
Aku mengangguk dan tersenyum senang. Indahnya hari ini. Ditambah Willy menjadi kekasihku.
--
Lelah rasanya hari ini, padahal aku hanya ke kampus saja. Tapi rasa lelah menghantuiku. Aku segera mandi, agar rasa lelah terganti dengan rasa segar sehabis mandi.
Aku duduk di depan televisi, menatap sebuah acara yang sedang tayang. Aku hanya mengganti satu saluran dengan saluran yang lain, tak ada acara yang bagus.
Malam minggu ini terasa sepi. Aku ingin bermalam minggu dengan Radit, cowok impianku itu. Aku menatap jendela, hujan mulai berjatuhan menemani malam mingguku yang kelabu.
Drrtt.. Drrtt..
Aku mengambil telepon genggam yang terletak tepat di sampingku. Ada sebuah sms. Dari Debi.
“Jangan lupa, tugas kelompok kita. Besok ngerjain di tempatku ya.”
Aku mengeryitkan dahi, tak ada sms dari Radit atau seorang cowok yang menemaniku bermalam minggu, jika ada sms hanya dari Debi yang menanyakan perihal tugas. Betapa kelabunya malam mingguku ini.
Aku berjalan menuju kamar dan mulai membuka laptop. Mencari aplikasi Word. Dan tanganku mulai bernari indah di atas keybord. Paragraf demi paragraf tersalin dengan rapi di sana.
Tak berapa lama, aku menutup laptopku.
--
Hari-hariku terisi dengan hal menulis dan menulis. Sungguh membosankan, juga menyenangkan. Karena aku bisa mengapresiasikan apa yang aku rasa, aku lihat, aku dengar, aku raba dan aku cium ke dalam sebuah tulisan. Aku bisa menulis tentang kisah yang aku alami.
Nyatanya, beginilah hidupku. Berbeda jauh dengan apa yang aku tulis dalam kisah di cerita pendekku. Andai ada satu keajaiban, yang membuat semua seakan nyata. Semoga.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar