Kau Bukan Matahari, Kau Hanya Hujan
Awan hitam berarak mendekat, mengeluarkan bunyi dari gertakan petir dan memancarkan kilat dengan terang yang menghiasi hamparan kota ini. Tak lama kemudian tetesan air membasahi tanah dengan deras. Banyak lalu lalang kendaraan dan orang-orang mulai berteduh di bawah pohon ataupun di sekitar ruko yang mereka lewati.
Bunyi krincing dari pintu yang dibuka, mulai bergema silih berganti dalam ruangan ini. Karena hujan, banyak yang memasuki tempat ini, hanya untuk menikmati secangkir kopi hangat di tengah dinginnya udara sore kali ini.
Aku memalingkan wajahku keluar jendela, menatap jalan yang mulai basah. Kaki kecil berlari-lari saling berkejaran, bermain senang dengan tetesan air hujan. Kadang kala mereka mulai menawarkan jasa payung, tak terlihat wajah sedih atau menggigil karena udara dingin yang menerpa tubuh mereka.
Tetesan air hujan masih berjatuhan membasahi jalan yang mulai lenggang. Aku tak suka menikmati hujan dalam kesendirianku. Kenangan itu seolah beranjak masuk ke alam pikiran kembali. Memacu otakku untuk memikirkan seseorang yang pernah mengetuk hatiku kemudian berlalu.
--
“Kamu ada acara nanti sore?” aku menggeleng dengan cepat. Kau menyunggingkan senyummu padaku seraya berkata. “Nerjain tugas bareng yuk?”
Tanpa menunggu perkataanmu yang lain, aku menggerakan kepalaku keatas dan bawah, mengiyakannya ajakanmu. Lagi, kau tersenyum manis padaku.
Entah dengan cara apa, kau bisa mengetuk dan bertamu ke hatiku. Sebelumnya, aku tak pernah mengijinkan siapapun memasukinya dengan setengah hati. Tapi kau mampu bersemayam indah, membuat degup jantung berdebar tak karuan saat kau di dekatku.
“Kamu berangkat sama siapa? Mau aku jemput?” katamu kala itu dalam sebuah pesan singkat yang kau kirimkan padaku. Aku terdiam. Bingung harus membalas smsmu. Di satu sisi aku ingin berangkat bersamamu, kupikir kapan lagi kau mau menjemputku dan kita berangkat bareng. Tapi di satu sisi yang lain, aku sudah berjanji akan berangkat bareng dengan sahabatku, yang juga teman sekelasmu.
Dengan gerakan lambat, aku membalas pesanmu dengan pertanyaan bodoh yang ku tahu. “Terus si Yudha sama siapa?” Seketika, aku merutuki apa yang kukirimkan padamu. Mengapa dengan polosnya aku menanyakan tentang Yudha, padahal aku tahu pasti dia akan berangkat sendiri dengan motor Mio putih kesayangaannya.
Tak lama kau membalas, “Nggak tau nih, dia nggak balas smsku. Jadi, kamu berangkat dengan siapa?”. Lagi-lagi aku memikirkan jawaban apa yang harus kukirimkan padamu. Sesungguhnya, aku ingin berangkat denganmu, tapi aku tak enak dengan Amel. Aku sudah janji padanya, akan berangkat bareng.
“Aku berangkat sama Amel, Di. Kita ketemuan di sana saja.” Dengan berat hati, aku segera mengirimkannya padamu. Aku tersenyum kecut dengan jawaban yang aku kirimkan padamu. Kau menawarkanku untuk berangkat bareng, dan aku menolaknya.
Awalnya ku kira, semua itu hanya sampai di situ saja. Ternyata tidak. Suatu hari kau pernah mmengajakku untuk menemanimu melihat pameran fotografi. “Kamu lagi apa? Mau menemaniku melihat pameran fotografi nggak?”
Dengan cepat, aku membalas smsmu. “Boleh deh. Kapan?”, aku tersenyum membayangkanmu, aku tersenyum akan keberuntunganku bisa mengenalmu disaat semua perempuan ingin berkenalan denganmu.
Tak berapa lama, kau sudah ada di depan rumahku. Dengan langkah cepat aku segera menghampirimu, tak sabar rasanya bertemu denganmu. Kau terlihat simpel dengan kaos oblong, celana jins dan sneakermu.
Kurasa, aku tak bisa mendeskripsikanmu dengan jelas. Karna kau begitu sempurna untukku, bagiku kau adalah seseorang yang tercipta untukku. Bukankah cinta itu sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan jelas, sama halnya aku tak bisa menjelaskan tentang apa yang kusukai dari dirimu. Hanya rasa yang mengerti, rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Satu kesempatan yang aku ingat dengan jelas, kala kau menyanyikan sebuah lagu untukku. Aku tak tahu, apakah itu lagu untuk kita. Aku tak mengerti, aku hanya menikmati suara khas yang kau nyanyikan untukku.
Temukan apa arti dibalik cerita
Hati ini terasa berbunga-bunga
Membuat seakan aku melayang
Terbuai asmara
Hati ini terasa berbunga-bunga
Membuat seakan aku melayang
Terbuai asmara
Kau menatapku dengan lembut, dengan senyum tulus yang kau berikan padaku. Sebuah tatapan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Adakah satu arti dibalik tatapan
Tersipu malu akan sebuah senyuman
Membuat suasana menjadi nyata
Begitu indahnya
Dia seperti apa yang selalu ku nantikan aku inginkan
Dia melihatku apa adanya seakan kusempurna
Kau begitu sempurna bagiku. Entah mengapa, untuk kali ini dan mungkin seterusnya. Kau adalah sesuatu yang berharga, yang tak boleh kusiakan. Kau adalah anugerah terindahku, kau makhluk terindah yang diciptakan oleh-Nya.
Tanpa buah kata kau curi hatiku
Dia tunjukkan dengan tulus cintanya
Terasa berbeda saat bersamanya
Aku jatuh cinta
Dia bukakan pintu hatiku yang lama tak bisa kupercayakan cinta
Hingga dia disini memberi cintaku harapan
“Dia bisa merubah hidupku. Dia bisa membuatku menjadi sempurna. Aku bisa menjadi diriku di depannya, tanpa harus berpura-pura. Dia yang selalu kunantikan, hingga aku menemukannya.” ujarmu kala itu. Aku tak tahu siapa dia, mungkin aku tak mengenalnya. Tapi betapa beruntungnya dia bisa menempati ruang di hatimu.
Kau mendekap erat tubuhku dan dengan pelan kau mencium keningku. “Dia itu kamu.”, bisikmu. Seketika garis yang menyerupai bulan sabit menghiasi wajahku, aku senang dengan penuturanmu. Rasanya aku ingin jika waktu tetap seperti ini, membiarkan sosok sempurna di dekatku.
Semuanya berlalu dengan indah, sampai suatu ketika kau seolah menjauh dariku. Menjauhiku tanpa alasan. Saat kita bertemu, kau tak pernah menyerukan namaku, untuk melihatku saja kau tak mau.
Kau meremukkan semua harapan indahku bersamamu. Pikiran tentangmu masih mendekam dalam putaran waktu yang kau berikan padaku. Kau yang sempurna berubah menjadi sosok yang tak kukenal, sosok yang tak bisa kukatakan.
Kau tau, aku menangis jika harus mengingat hari-hari yang pernah kita lalui bersama. Kau memang tak pernah mengatakan sebaik kata yang bisa membuat siapa saja melambung dan merasa terikat. Tapi bagiku, kau adalah seseorang yang tak bisa kuhempaskan. Sepertinya, aku sudah terikat denganmu, menggunakan benang hati yang kau sembunyikan di dasar hatimu.
Kini, benang-benang itu kau gunting. Menjadikannya lepas dan tak terikat. Dan kau pergi meninggalkan hati yang terluka, mata yang terus mengeluarkan butiran air, semua karenamu.
Langit seolah mengetahui tentang hatiku yang perih, tentang air mata yang mengalir. Dia tak mau aku menangis sendiri, tetesan air mengalir membasahi tanah. Hujan turun dengan derasnya, seperti butiran air yang mengalir dengan deras dari kedua mataku. Itu semua karenamu, wahai hujan.
--
Suara krincing dari pintu masuk masih terus berbunyi. Rupanya hujan masih meneteskan airnya dengan deras. Hujan itu adalah dia.
Awalnya, aku mengira dia adalah matahari yang akan menerangi kehidupanku dengan apa adanya dia. Layaknya matahari yang menerangi bumi dengan setia, aku ingin dia seperti itu. Setia menerangiku.
Ah, rupanya dia bukanlah matahari yang selama ini kucari. Bukan juga pelangi, dia hanyalah hujan. Datangnya tak menentu. Kadang musim berganti menjadi panas, tapi hujan dengan tiba-tiba membasahi bumi. Tapi hadirnya hujan sangat kurindukan. Awan mendung, tetesan air, terangnya kilat, gertakan petir dan bau tanah basah, ciri khas dari hujan.
Dan aku merindukannya, merindukan sosok hujan yang pernah singgah di hatiku. Sosok sempurna dengan sayap putih dibelakangnya.
“Kamu sudah lama?” aku menatap suara yang mengajakku berbicara. Kemudian tersenyum dengan tipis.
“Tidak, untukku menghabiskan 2 gelas milkshake cookies.”
“Maaf.” hanya itu yang dikatakannya. “Oya Ri, kenalin ini temanku, Erwan. Wan, ini Riana.” katanya kemudian. Aku dan temannya saling menjabat tangan untuk berkenalan.
Mereka duduk tepat didepanku. Kita saling bercerita banyak. Tak lama kemudian, Erwan bangkit dari duduknya, dan berkata, “aku ke sana dulu ya.” tunjuknya ke panggung kecil di sudut sana, dekat dengan bar. Aku dan dia hanya mengangguk.
“Ri, maafin aku ya. Tiba-tiba menjauhimu, menghilang dari kehidupanmu. Bukan itu yang kumau, aku hanya tak ingin kamu membenciku saat kamu tau siapa aku. Aku nggak mau buat kamu kecewa. Aku tau, aku yang salah. Tak selayaknya aku memasuki kehidupanmu, harusnya aku sadar diri.” Dia menggenggam tanganku erat.
Aku tersenyum mendengar perkataannya. “awalnya aku marah, aku sedih, aku kecewa. Tapi kini, aku sadar, sebuah hati nggak bisa dipaksakan. Dia sudah menemukan siapa yang dicarinya, dan aku tak mau membiarkan hatinya terus singgah di hatiku walau nyatanya ada hati yang telah dicintainya.
“Itu kejadian sudah lama kan, Ri. Aku sudah melupakannya. Sungguh aku sudah melupakannya. Walaupun kadang aku mengingatnya jika hujan turun. Seperti kali ini. Karena kau adalah hujan, bagiku.” lanjutku kemudian.
“Dan kau adalah pelangi bagiku, warnanya indah, hanya ada saat hujan telah usai. Sekali lagi aku minta maaf, Ri.” Aku mengangguk dengan cepat. “Setelah kau tau siapa aku, apa kau masih mau berteman denganku lagi?” aku mengangguk kembali.
“Pastilah, Giri. Aku tak kan pernah membencimu.”
“Aku mencintainya. Lebih dari saat aku mencintaimu.” Dia menatap seseorang di panggung kecil itu dengan senyumnya. Aku menggenggam tangannya.
Sedih rasanya, mencintainya dengan tulus tapi nyatanya hatinya bukan untukku tapi untuk dia. Sepertinya aku harus mencari matahari baru. Matahari yang mau menyinari hatiku tanpa setengah hati, aku ingin dia mencintaiku dengan sederhana. Aku tak mau mencari sosok yang sempurna lagi.
Cukup untuk kali ini saja!
Kemudian kita larut dalam alunan lagu yang dinyanyikan untuk seseorang yang pernah bersemayam di hatiku.
--

Tidak ada komentar:
Posting Komentar