heiyo..

Foto saya
suka putihitembiru. jhenkelind banget. hanya seorang mahasiswi desain.

Rabu, 18 April 2012

. . .






Tentang Cinta
 namasayajhenkelind.blogspot.co
m
Brak! Prang!
        Selalu suara seperti itu yang kudengar. Barang pecah belah yang dibanting dengan asal, tak peduli mengenai seseorang atau tidak. Tak pernahkah mereka berpikir, jika perbuatan mereka hanya akan membuat malu keluarga?
      “Dari awal, harusnya kita memang tak bersama. Kau tahu, 5 tahun kita bersama aku mencoba untuk sabar. Tapi apa yang kudapat?”
        Mama mulai berbicara dengan suara tertekan kemudian terdengar suara tangis dari bibirnya. Sampai kapan aku mendengar drama ini dimainkan? Aku sudah muak dengan semua ini. Ingin rasanya aku keluar dari rumah ini. Tapi sayang, saat kaki melangkah keluar seolah ada sesuatu yang menahanku. Entah apa.
Brug!
        Ada sesuatu yang jatuh, seperti buku yang sengaja dijatuhkan. Aku segera keluar kamar mencari arah suara itu. Seorang perempuan seusiaku, mencoba memungut buku-buku tersebut. Aku segera membantunya.
        “Kau mau kemana?”
        “Aku ingin ke bawah.”
        “Menemui mereka?” tanyaku seraya menaruh kembali buku-buku yang sempat dijatuhkan perempuan itu.
        “Bukan. Aku ingin melerai mereka.”
        “Percuma. Sudahlah, kau tidur saja. Ini sudah malam.”
        “Tapi...”
        “Yakinlah padaku. Sebentar lagi mereka akan berhenti melempar barang-barang pecah belah itu. Sekarang kau tidur saja.”
        “Iya.”
         Iapun memutar badannya dan melangkah perlahan menuju kamarnya. Aku masih belum berlalu ke kamarku, aku masih ingin memastikannya jika ia memang benar ke kamar. Aku tak ingin ia ke bawah dan melerai mereka. Aku takut jika ia terkena pecahan beling yang berserakan di lantai.
Setelah melihatnya masuk ke kamar, aku kembali ke kamarku. Melanjutkan sketsa gambar yang belum selesai aku kerjakan, hanya karena keributan yang ditimbulkan orangtuaku.
Tanpa sengaja aku menatap sebuah bingkai foto. Aku memperhatikan foto itu dengan senyum tipis yang sedikit terpaksa. Sebuah foto dengan senyum ceria yang masih terpancar.
Papa, aku, mama dan Alya.
         Aku merindukan masa-masa saat itu. Bukan masa-masa seperti ini.

--
 jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
         Ah! Matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Aku menyipitkan mataku karena silaunya sinar matahari.
         Aku melirik jam dinding kamarku. Pukul 10.00. Sial! Aku telat ke kampus pagi ini. Seharusnya pukul 8.00 tadi aku sudah  ada di kampus, nyatanya aku masih terlelap dalam mimpi-mimpi semuku.
Aku berjalan gontai ke kamar mandi, rasa kantuk ini masih belum hilang. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, aku melangkah ke luar kamar.
         Ruang keluarga yang semalam penuh dengan barang-barang pecah belah yang berserakan, kini telah bersih.
        “Mama sama Papa sudah pergi kerja ya, Mbok?” tanyaku pada wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di keluarga kami.
        “Iya, Den. Sudah dari pagi tadi. Den Ryan mau makan? Biar mbok siapkan.”
        “Nggak usah mbok, aku belum lapar kok. Alya mana mbok?”
        “Di teras belakang, Den.”
        Aku segera menyusul Alya. Dia asyik mendengarkan lagu-lagu instumen dengan mata terpejam. Kemudian menghayati setiap nada yang keluar dari lagu-lagu itu.
        Perlahan aku duduk didekatnya. Dia masih tak bergeming. Sepertinya dia tak menyadari kehadiranku.
Tiba-tiba dia membuka mata indahnya dan menoleh ke arahku. “Kakak? Sejak kapan disini?” tanyanya.
        “Barusan kok. Kamu menghayati lagu ini, sampai tak menyadari kehadiranku?”
        “Maaf, Kak. Lagunya enak.”
        “Aku tahu.”
         Ia kembali memejamkan mata dan mendengarkan lagu-lagu tersebut dengan tenang.
        “Kau tak ingin mencoba bermain piano?”
         Ia membuka matanya dan menatapku. “Pengen, Kak. Dari dulu aku pengen mencoba. Tapi Mama selalu sibuk dengan pekerjaannya.”
        “Kalau gitu biar aku saja yang mengajarimu, kau mau?”
         Dengan cepat ia mengangguk. “Aku mau, Kak.”
        “Aku mandi dan bersiap-siap dulu. Kau juga.”
        “Iya, Kak.”
        Aku bergegas menuju kamarku. Sepintas aku masih menatapnya, ia berdiri perlahan dan diam. Kemudian ia berjalan menuju kamarnya. Aku tersenyum melihatnya senang seperti ini.

--
  jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
         Aku mengajaknya ke studio, tempat biasa aku latihan band. Dari raut wajahnya, ia terlihat asing dengan tempat ini. Aku membelai rambutnya yang panjang, mencoba menenangkannya. Jika tempat ini baik-baik saja.
        Aku mengajaknya ke tempat alat musik piano. Dan mulai mengajarinya. Awalnya ia terlihat ragu-ragu.
        “Kau kenapa?”
        “Aku takut, Kak.”
        “Takut sama siapa?”
        “Aku takut nggak bisa memainkan piano dengan baik.”
        “Hei, kau kan masih latihan. Salah itu wajar.”
        Ia mencoba menekan tuts do pada piano tersebut dan mulai menghayati setiap nada yang ia tekan. Senyum mengembang di wajah manisnya kala ia berhasil memainkan nada-nada dasar.
        “Kau senang?”
        “Senang Kak, senang banget.”
        Aku tersenyum mendengar perkataannya. “Aku akan membelikanmu keyboard. Kau mau? Memang sih tak sebagus piano.”
       “Hah? Kakak serius? Aku mau, Kak.”
       “Iya, aku serius. Tapi kau harus janji padaku.”
       “Apa Kak?”
       “Kau akan memainkan keyboard ini, jangan sampai ia berdebu.”
       “Iya, Kak. Aku janji. Makasi ya, Kak.” Ia memegang jemari tanganku.

--
   jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
       Kali ini aku melihatnya diam termangu di balkon kamarnya. Seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. Entah apa. Aku mencoba mendekati gadis mungil ini.
       “Kau kenapa?”
       Ia terlihat kaget dengan kehadiranku ini. Ekspresi datar yang tadi ia tunjukkan kini berubah menjadi senyuman manis. Yang aku tahu, jika ia tak ingin aku melihatnya sedang memikirkan sesuatu.
       “Aku nggak kenapa-napa kok, Kak.”
       “Bohong ya?”
       “Aku serius kok, Kak.”
       “Ya sudah, kalau ada apa-apa, panggil aku saja ya?”
       “Iya, Kak.”
        Aku melangkahkan kakiku menuju ruang keluarga di lantai 1. Lagi, aku menatap wajah itu sekilas. Wajah manis yang membuatku tak ingin keluar dari rumah, walau aku ingin pergi dari rumah ini. Aku muak dengan keadaan yang disebabkan oleh kedua orangtuaku itu.
       “Kakak mau kemana?” tanyanya sambil menoleh padaku.
       “Aku mau ke ruang tv, kau mau ikut?”
        Ia menggeleng. “Nggak, Kak. Aku mau di kamar saja.”
       “Kau tidur saja jika mengantuk, tak usah menunggu mama dan papa. Mereka pasti pulang larut malam.”
       “Tapi, Kak . . “
       “Sudahlah, percaya padaku. Kau masuk saja. Angin di luar dingin.”
       Aku membantunya menutup pintu yang menuju balkon. Ia membaringkan tubuhnya ke kasur. Aku segera keluar kamar dan mematikan lampu.

--
   jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
        Alya. Adalah adik satu-satunya yang kumiliki. Dia memang bukan adik kandungku. Mama meninggal saat aku masih kelas 5 SD. Sampai akhirnya aku kelas 1 SMA, Papa memutuskan menikah lagi dengan temannya kerja, tante Irna.
        Awalnya aku tak mau memanggilnya dengan sebutan Mama. Karena bagiku, yang pantas dipanggil dengan sebutan Mama adalah Mama kandungku. Bukan dia.
        Perlahan aku mulai terbiasa dengan wanita itu, dan mulai memanggilnya dengan sebutan Mama. Semua  berjalan baik-baik saja. Sampai akhirnya, saat aku menginjak bangku kuliah. Mama membawa anak semata wayangnya, Alya.
        Saat Mama membawa Alya ke rumah kami, Papa terlihat kaget seolah tak menerima kehadiran Alya dirumah kami. Bukan. Bukan karena Papa membenci Alya. Tapi karena Mama tak pernah memberitahu Papa jika ia telah memiliki anak sebelumnya. Karena hal itu, Papa tak suka jika Alya ada dirumah kami. Alya seusiaku denganku. Hanya saja ia tak kuliah.
        Mama dan Papa mulai berselisih paham. Awalnya mereka hanya berselisih paham kecil, namun kini barang-barang yang ada di rumah habis dibanting Mama, saat ia berkelahi dengan Papa.
       Yah, itu yang membuat aku muak berada di rumah. 2 tahun sudah aku mendengar dan melihat drama dirumah ini, seperti melihat sinetron.
       Tak jarang, Alya kena marah Papa. Pernah suatu ketika, ia mencoba melerai Mama dan Papa berkelahi, tapi nyatanya ia terkenal pukulan Papa. Maka dari itu, aku tak pernah mengijinkannya untuk melerai mereka.
Entah, tapi aku ingin selalu menjaga Alya. Aku tak ingin membuatnya bersedih. Aku tak suka melihat air yang jatuh dari mata indahnya itu.
       “Siapa? Siapa wanita itu?”
       “Bukan urusanmu!!”
        Aku menoleh ke sumber suara tersebut. Suara yang membuatku sumpek. Refleks aku berdiri dan berjalan ke arah mereka berdua.
       “Ma, Pa. Kalian kenapa sih? Selalu bertengkar. Apa kalian nggak malu pada tetangga? Apa kalian nggak merasakan apa yang aku dan Alya rasakan?”
       “Kamu!! Kau tahu apa tentang kami. Kau diam saja.” teriak Papa.
       “Aku memang nggak tahu apa yang kalian lakukan di luar sana. Aku nggak peduli. Yang aku tahu, kalian selalu berkelahi. Aku malah berpikir jika kalian itu sebenarnya tak ada. Kalian tak pernah memperhatikanku dan Alya. Kalian malah membuat kami sumpek. Apa itu yang namanya orangtua?”
Plak!!
        Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipiku. Sekilas aku melihat Papa.
        “Pukul saja terus, Pa. Jika itu membuatmu senang. Lega. Aku tak masalah.”
        Tangan Papa kembali melayang  ingin menamparku. Tapi Mama menahannya. “Pa, apa-apaan kamu? Dia anak kamu. Tak sepantasnya kamu memukulnya.”
        “Kamu!!” Papa menunjuk Mama. “Tak usah ikut campur urusanku dengan anakku.”
        “Anakku? Anak Papa maksudnya? Sejak kapan aku menjadi anakmu, Pa? Sejak Mama meninggal?”
        “DIAM KAMU!” intonasi Papa makin meninggi.
        “Ya sudahlah, Pa. Aku capek berurusan dengan Papa. Aku juga capek melihat dan mendengar kalian bertengkar.” Aku melangkahkan kakiku ke lantai dua.
        Aku tahu, aku lancang berbicara seperti ini pada mereka berdua terlebih Papa. Tapi aku tak suka dengan keadaan seperti ini.
        Alya. Ia berdiri tepat diambang pintu kamarnya. Aku mendekatinya.
       “Kau belum tidur?”
       “Kenapa Kakak berkelahi dengan Papa?”
       “Kau . . .”
       “Aku tahu, Kak. Aku tahu.”
       “Tahu apa?”
       “Tahu tentang semua yang kalian sembunyikan dari aku.”
       Aku menatapnya tak percaya. Aku menggenggam tangnnya erat.
       “Kamu tahu apa memangnya?”
       “Aku tak ingin membahasnya sekarang. Aku mau tidur.”
        Ia melangkahkan kakinya ke dalam kamar dan menutup pintu. Aku hanya termangu melihatnya. Apa yang sebenarnya ia katakan? Ia tahu tentang apa?

--

        Minggu pagi yang cerah, seharusnya begitu. Tapi tidak bagiku. Aku harus mengerjakan deretan tugas yang menumpuk. Dengan deadline hari yang sama. Senin.
        Sedang asyik mengerjakan beberapa tugas. Ada seseorang yang membuka pintu kamarku. Refleks aku menoleh ke arah pintu. Alya.
        Aku berdiri dan mengajaknya masuk. “Ada apa? Tak biasanya kau mau ke kamarku?”
       “Aku ingin Kakak menjelaskan tentang semuanya.”
       “Tentang apa?”
       “Papa sebenarnya nggak pernah suka dengan kehadiranku kan? Karena aku ini menyusahkan kalian semua. Aku tahu, Kak. Kenapa mereka selalu berkelahi. Semua karena aku kan?” Ia mulai menangis.
       “Kau berbicara apa? Semua tidak benar.”
       “Kak, aku selalu berada di rumah ini. Aku tak pernah kemana-mana. Sekecil apapun kalian menyembunyikannya. Aku tahu, Kak.”
        Aku mendekapnya erat. “Maafkan Papa ya?”
        “Aku tak pernah marah pada Papa, juga Mama yang tak memberitahu Papa jika ia sudah memiliki anak.”
        Aku mengelus rambutnya perlahan.
        “Aku ingin kerja, Kak. Aku ingin seperti Kakak yang bisa kuliah dan kerja. Bisa menghasilkan uang sendiri. Seharusnya sekarang aku semester 4 juga ya, kayak Kakak.”
        “Dan seharusnya kau tak memanggilku dengan Kakak, kita hanya beda beberapa bulan.”
        “Aku tak peduli. Bagiku, kau adalah Kakak yang menjadi pelindungku.”
        “Terimakasih. Tapi aku tak mengijinkan kau bekerja.”
        “Kenapa, Kak?”
        “Kalo kau ingin apa-apa bilang saja padaku. Aku akan membelikanmu. Biar aku saja yang kerja.”
        “Aku tak mau, Kak. Aku tak ingin merepotkanmu, juga Mama dan Papa. Aku ingin mendapatkan uang dengan hasil jerih payahku.”
        “Kalo gitu, aku akan membantumu sebisaku.”
        “Terimakasih, Kak.”

--
   jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
         Aku melihatnya memainkan keyboard yang aku belikan untuknya. Ia mulai pandai memainkan beberapa buah lagu dengan tepat. Jari-jari lentiknya terus bermain dengan lincah diatas tuts-tuts tersebut.
        “Waw. Kau makin pandai memainkannya.”
        Dia segera menghentikan permainnannya. “Mengapa berhenti?”
        “Sejak kapan Kakak di sini?”
        “Sejak kau memainkan setengah dari lagu tersebut.”
        “Hah?”
        “Ya sudahlah.” Aku mengajaknya berdiri. “Aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”
        “Kemana?”
        “Sudahlah kau ikut saja.”
         Aku mengajaknya ke sebuah cafe. Cafe yang cukup terkenal di kalangan anak muda. Kebetulan owner cafe tersebut memerlukan pemain piano untuk meramaikan cafe tersebut. Dan aku ingin mengenalkan Alya pada Kikan, si pemilik cafe.
       “Jadi ini yang namanya Alya?”
       “Iya, Kan.” Alya tersenyum pada Kikan ketika aku mengenalkannya.
       “Hmm, Alya. Saat toko mau tutup. Cobalah kau memainkan sebuah lagu. Aku ingin mendengarnya.” Alya mengangguk dengan mantap.
         Saat cafe mulai sepi. Alya mulai memainkan sebuah lagu. Jemari-jemari lentiknya kembali menari indah. Nada-nada indah mulai terdengar dari piano dengan lembut.
       “Bagus.” puji Kikan. “Kau mau berkerja dengan kami? Sebagai pianis di cafe ini.”
       “Sungguh?”
       “Iya.”

--
   jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
         Dan mulai hari itu, aku selalu mengantarkan Alya ke cafe. Hal itu menjadi rutinitasku sehari-hari selain kuliah dan bekerja sebagai fotografer dan drafter. Aku tak bosan mengantarnya. Karena aku selalu senang saat melihatnya tersenyum senang seperti ini.
         Malam ini, kami pulang larut malam. Karena di cafe itu ada acara ulang tahun, sehingga kami harus pulang larut malam.
          Tanpa kami ketahui, Mama dan Papa menunggu kami pulang.
         “Kalian berdua kemana saja?” tanya Mama.
         “Kami dari cafe, Ma.” Jawab Alya takut.
         “Ngapain? Jadi, setiap hari kalian pergi ke cafe?”
         “I..iya, Ma.”
         Aku melihat Papa sekilas. Ia hanya terdiam.
         “Buat apa kalian ke sana?” tanya Mama lagi.
         “Alya kerja di sana, Ma.”
         Terlihat dari raut wajah Mama dan Papa jika mereka kaget. Papa yang semula hanya diam kini bangkit berdiri dan berjalan ke arah kami.
        “Kau bisa apa? Kau kira aku tak sanggup membiayaimu hidup?” tanyanya marah seraya menunjuk wajah Alya.
         Aku mendorong Alya ke belakang punggungku, ia memegang bajuku dengan erat. Ia sangat ketakutan.
        “Hah? Memang Papa pernah membelikan apa yang Alya inginkan? Emang Papa pernah mau ngurusin kebutuhan Alya? Mama sama Papa sama saja. Baju yang Alya kenakan sehari-hari hanyalah baju yang ia bawa saat ia pindah ke sini. Apa kalian pernah membelikannya sebuah baju?”
         Plak!! Lagi-lagi Papa menampar pipiku. Aku tak peduli. Aku terus membela Alya.
        “Sekarang Alya bekerja apa itu salah? Ia juga butuh uang untuk membeli kebutuhan yang lain, yang tak pernah kalian belikan.”
         Malam ini, keluarga kami kembali ricuh. Namun sayangnya, malam ini ada Alya. Aku segera membawanya ke kamar. Aku tak pedulikan apa yang Papa katakan. Aku tak peduli dengan Mama yang mencoba menenangkan Papa. Aku tak peduli. Yang aku pedulikan kini hanya Alya.
        “Kau tak apa-apa?”
        Ia memelukku erat. “Kak, aku takut.”
        “Kau tenang saja, aku ada di dekatmu. Kau jangan takut.”
        “Kakak, janji ya sama aku.”
        “Iya. Apa?”
        “Jangan tinggalin aku, Kak. Aku takut.”
        “Iya, Kakak janji. Sekarang kamu tidur ya?”
         Ia mengangguk dan segera berbaring. Aku mematikan lampu kamarnya dan berjalan keluar. Malam ini pikiranku kacau. Aku menuju garasi mengambil motorku. Aku ingin pergi, aku ingin menenangkan diri.
         Aku melajukan motor kesayangannku dengan kencang, tanpa kutahu arah mana yang akan ku tuju. Pikiranku masih melayang entah kemana, sampai kutahu ada sebuah cahaya lampu dari mobil yang terang. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.

--
   jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
Alya’s Story

       “Kau sudah siap?” tanya sebuah suara padaku. Yang ku tahu ia adalah dokter.
       Aku mengangguk.
       Perlahan ia membuka kain yang menutupi mataku. Sedikit demi sedikit kain terbuka. Aku ingin segera membuka mataku.
       “Coba sekarang kau buka matamu secara perlahan.”
        Sesuai perintahnya aku membuka mata. Aku takjub melihat sekelilingku. Kini, aku bisa melihat. Setelah sekian lama, aku tak pernah merasakan keindahan dunia.
        Ya, aku buta dari aku SD. Semua gara-gara kecelakaan yang menimpaku. Karena itu, Mama selalu tak pernah menganggapku ada. Dan ia menitipkanku ke nenek. Ia tak mau merawatku, hanya karena aku tak bisa melihat.
         Sampai ia mengajakku, ke rumah suami barunya. Aku merasa asing di tempat itu. Terlebih saat harus berhadapan dengan Papa. Untung saja ada Kak Ryan, seseorang yang selama ini ku anggap sebagai kakak, walau usia kami sama.
         Tak sabar rasanya melihat wajah kakakku itu. Kembali aku memperhatikan wajah-wajah yang ada di ruangan ini.
        “Kau mencari siapa?” tanya Mama.
        “Kak Ryan?”
        “Nanti kau bisa bertemu dengannya, saat kau sudah keluar dari rumah sakit ini.”
        “Mengapa ia tak ke sini?”
        “Ia tak bisa ke tempat ini.”
         Mengapa ia tak ke sini? Aku merindukan sosoknya. Biasanya ia selalu menemaniku. Tapi kini? Ya sudahlah, nanti saat aku sudah keluar dari sini. Aku bisa melihatnya dan kami dapat bermain bersama.
         Aku senang saat ada seseorang yang mau mendonorkan matanya untukku. Berita ini memang mendadak. 3 hari setelah pertengkaran kak Ryan dengan Papa, Mama memberitahukan padaku jika ada seseorang yang mau mendonorkan matanya untukku.
        Aku tahu, seseorang itu pasti baik banget.

--
   jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
       “Apa? Jadi ini, . .”
       “Iya sayang.”
       “Tapi, kenapa Ma?”
       “Semua terjadi begitu cepat. Saat malam dimana kita bertengkar, ia pergi mengendarai motor dengan kencang. Ada mobil yang juga berjalan dengan kencang, dan semua itu tak bisa terelakkan. Ia segera dibawa kerumah sakit. Tanpa memberitahumu, Mama dan Papa menyusul ke rumah sakit. Sebelum ia pergi, ia sempat berkata, jika matanya akan ia donorkan untukmu. Jaga selalu matanya ya?”
         Aku memeluk Mama dengan erat. Aku ingin mengunjunginya, di tempat terakhirnya.

--
   jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
         Aku tersenyum tipis menatap nisan dengan tulisan namanya.
         “Kak, kenapa saat aku bisa melihat, kau tak ada? Padahal aku ingin melihatmu. Aku ingin melihat senyummu. Aku ingin kau membelai rambutku seperti biasanya. Aku merindukanmu, Kak. Dulu kau pernah berjanji padaku. Akan menjagaku. Kini aku yang berjanji padamu. Akan menjaga mata ini sebaik mungkin. Karena dengan matamu aku bisa melihat lagi. Terimakasih, Kak.”
         Aku meletakkan sebuah bunga tepat di atas makam tersebut.
        “Semoga kau tenang di sana, Kak.”

--
   jhenkelind.jhenkelind.jhenkelind.
          Aku tak pernah sekalipun melihat wajahnya seperti apa. Perlahan, saat Mama dan Papa sedang kerja. Aku memasuki kamar kak Ryan, sebuah ruangan dimana ia betah berlama-lama di sana.
          Kamar yang cukup rapi untuk  seorang cowok. Banyak sketsa-sketsa di kamarnya, juga beberapa foto yang ia tempel di dinding. Ternyata kak Ryan suka menggambar dan memotret.
         Aku duduk di kursi meja belajarnya. Tak sengaja, aku menyenggol sebuah kotak dengan sampul bergambar kamera.
          Karena penasaran aku membukanya. Ternyata di sana ada beberapa foto dan sketsa wajahku, Mama, Papa dan dia. Aku terharu. Selama ini dia selalu marah pada Papa juga Mama, tapi sebenarnya ia sayang dengan mereka. Ia hanya ingin keluarga ini bahagia seperti di gambar itu.
          Aku mengambil sebuah gambar dengan sketsa wajahku. Ada tulisan dibawahnya, aku segera membacanya.
          “Walaupun kau tak bisa melihat apa yang ada di sekelilingmu, tapi aku tahu kau bisa melihat dengan hatimu. Aku yakin suatu saat nanti, ada seseorang baik hati yang akan mendonorkan matanya pada gadis yang baik hati. Setelah kau bisa melihat, aku akan mengajakmu ke tempat yang ingin kau kunjungi. Bukit ilalang.”
         Aku menangis dalam diam. “Aku merindukanmu, Kak.”

--

@jhenkelind

Tidak ada komentar:

Posting Komentar