heiyo..

Foto saya
suka putihitembiru. jhenkelind banget. hanya seorang mahasiswi desain.

Jumat, 13 Januari 2012

Satu Masa

Satu Masa




Aku melajukan mobilku ke suatu tempat, dimana suatu kejadian takkan terulang kembali. Macet dan cuaca panas kota ini, tak menghalangi niatku untuk menuju tempat itu. Dimana suatu kenangan terukir dengan indah.


Aku tersenyum saat mendapati bangunan ini banyak mengalami perubahan. Walaupun masih terlihat sisa-sisa bangunan yang lama. Sama persis, saat aku masih menapaki masa remajaku di sini.

Kulangkahkan kakiku menuju gerbang sekolah yang sangat kurindukan ini. Dimana kenangan terindah yang kualami bersama mereka tak kan terulang kembali.



--

Aku melewati pos satpam yang letaknya tidak begitu jauh dari gerbang dan berada di sebelah kanan. Sebuah bangunan kecil dengan dinding yang dicat berwarna kuning gading, diberi aksen beberapa keramik dengan warna senada. Terlihat lebih modern dibandingkan saat itu, dimana dinding yang hanya dilapisi batu bata tanpa diplester dengan cat. Bangunan yang sungguh sederhana. Kini pos satpam itu mengalami banyak perubahan.

--

“Hahaha.. Kamu ada – ada aja, Vin.” Tawa Agni.

“Kenapa, Ag?” Tanya Gabriel penasaran.

“Itu si Alvin, Yel. Tadi diomelin guru malah cengar cengir sok imut.”

“Haha. Dasar sipit.” Ejek Ray ke Alvin.

“Biarin. Daripada kamu. Cantik.” 

“Hah?”

“Lihat aja deh, Ag. Rambutnya dia kan panjang. Masa’ cowok rambutnya panjang.”

“Hahaha. Iya. Dikit lagi rambutmu udah menyamai rambutku, Ray. Hahaha.”

“Kalian lagi!! Kalian lagi!! Kenapa sih masuk dan pulang sekolah kalian selalu nongkrong di sini? Nggak bosen apa?”

“Eh pak Timo. Nggak, Pak. Kan kita mau bantu bapak jagain pos satpam.” Ujar Alvin dengan senyum mengembang di bibirnya.

“Iya, Pak. Kan kita mau bantuin bapak.” Agni menambahkan perkataan Alvin.

“Yang ada kalian malah menganggu bapak tau. Sudah sana. Sebentar lagi bel masuk.”

“Iya, Pak.”

Mereka berempat segera berlalu menuju kelas mereka. Jarak antara gerbang dengan bangunan sekolah memang cukup jauh. Masih terdengar sayup-sayup suara mereka yang tertawa dengan senang.

--

Aku melangkahkan kakiku menuju jalan panjang, penghubung antara gerbang dan bangunan sekolah memang cukup jauh. Tapi kulalui dengan senang bersama teman-temanku. Alvin, Gabriel dan Ray. Banyak kejadian menarik yang kualami bersama mereka selagi melewati jalanan ini. Kenangan kala itu muncul kembali.

--

“Di, rantai sepedamu kenapa tuh?” Teriak Gabriel saat Ardi melewati mereka.

Ardi yang namanya disebut refleks menoleh ke arah mereka. Dan. . .

Brugg..

“Aww..” Rintih seorang gadis seraya memegang bagian belakangnya yang kesakitan dan mendarat mulus di aspal.

Ardi segera menghampiri gadis itu dan membantunya berdiri. “Maaf ya. Aku nggak sengaja.” Mohonnya dengan muka memelas.

Cewek itu segera berdiri. “Iya, nggak apa – apa kok.”

“Ihhiii Ardi.” Sorak Agni, Alvin, Gabriel dan Ray yang menggoda Ardi.

“Udah deh, Di. Nyatain aja. Diterima kok.”

Gabriel dan Ray segera mempraktekkan adegan penembakan mereka. “Ooh Dian, maukah kau menjadi kekasihku. Saat ini dan untuk selamanya?” Gabriel meletakkan lututnya di aspal seraya memberikan bunga pada Ray.

“Waw. Terimakasih ya, Ardi. Aku mau kok.” Ucap Ray dengan gaya seperti perempuan. “So sweet deh kamu, Di.”

Seketika anak-anak lain yang melihat mereka tertawa dengan riuh, tak terkecuali dengan Ardi dan Dian. Mereka sama sekali tak marah dengan perbuatan Gabriel dan Ray yang menggodai mereka.

“Eh Lis. Ngapain lari-lari?” Tanya Alvin ketika melihat Lisa yang sedang terburu-buru menuju kelas.

“Aku telat. Aku piket soalnya.”

“Ada yang ngikutin kamu tuh di belakang.”

Lisa segera menoleh ke belakangnya. Tapi, tidak ada yang mengikutinya. “Siapa, Vin?” Tanyanya penasaran.

“Bayanganmu.” Jawab mereka berempat serempak. “Hahahaha.”

“Isshh. Sial. Awas kalian ya.” Lisa segera berlari menuju kelas.

--

Lapangan basket yang masih seperti dulu. Tak ada yang berubah dengan lapangan ini. Dan lapangan ini yang menjadi saksi cintaku, yang penuh kenangan. Suatu kisah cinta dengan diam-diam, tanpa berani kuutarakan padanya.

--

“Lihat siapa, Ag?”

“Heh? Nggak lihat siapa-siapa kok.”

“Yakin nih, Ag?”

“Yakinlah, Yel.”

“Rian ya?” Tanya Ray yang duduk diantara mereka Agni dan Gabriel.

Saat jam istirahat mereka memang suka duduk-duduk di pinggir lapangan basket. Sekedar melihat anak-anak yang sedang bermain, maupun menemani Alvin yang memang hobi bermain basket.

Tapi Agni mempunyai tujuan lain. Dia hanya ingin melihat Rian, cowok yang disukainya semenjak kelas 1 SMA. Tapi dia sama sekali tak berani mengutarakan apa yang dirasakannya pada Rian. Baginya, Rian adalah sosok manusia yang sempurna, yang dia tahu. 

Agni senang saat melihat Rian bermain basket. Caranya memasukkan bola maupun mendrible bola. Semua yang ada di diri Rian, Agni suka. Tapi sayang, semua itu hanya dipendamnya dalam hati. Hanya ketiga sahabatnya itu yang mengetahuinya. Rian merupakan cinta terpendamnya selama 3 tahun. 

“Wah, Rian jatuh tuh, Ag.” Refleks Agni berdiri dan melihat ke arah Rian. Tapi yang dilihatnya Rian sedang berlari seraya mendrible bola. Dengan sigap dia menoleh ke arah Gabriel.

“Jahat kamu, Yel.”

“Hahaha. Udah tembak aja, Ag. Ntar lagi kita lulus.”

“Nggak mungkin. Aku cewek. Dia cowok.”

“So?”

“Masa’ aku yang nembak duluan? Ogah.”

“Keburu di samber orang tau rasa deh kamu, Ag.”

“Apaan sih kalian berdua.” Agni berlari mengejar kedua temannya. Mereka mulai bermain kejar-kejaran. Saat Agni asyik mengejar mereka, Rian lewat di depannya. Tanpa bisa menghentikkan larinya dengan tiba-tiba, diapun menabrak Rian. “Waaaaa....”

Agni yang menabrak tapi dia yang tersungkur jatuh ke aspal, sedangkan Rian masih berdiri dengan tegaknya. Dia menurunkan tubuhnya seraya menolong Agni.

“Kamu nggak apa-apa?”

“Heh? Hehe. Nggak apa-apa.”

“Yakin?”

“Yakin kok. Hehe.”

“Nih.” Rian memberikan sapu tangannya pada Agni.

“Hah? Buat apa?”

“Buat luka yang ada di dahimu.” Dia berlalu dengan senyum yang merekah di bibirnya.

Agni dengan segera memeriksa bagian dahinya dan merabanya. “Aww...”

“Sakit, Ag?” Tanya Alvin dengan muka polosnya.

“Iya, sipit. Sakit banget.”

“Aku heran deh.”

“Heran kenapa, Yel?”

“Bayangin deh Ray, Vin. Tadi pas ada Rian, dia bilang ‘nggak apa-apa kok, nggak ada yang sakit’. Tapi nyatanya? Hahaha.”

“Udah deh, Yel. Jatuh Cinta berjuta rasanya. . . “ Ray seraya menyanyikan sebuah lagu dengan gaya kocaknya.

“Senang ya kalian godain aku?” Agni memajukan bibirnya sambil duduk di bangku yang ada di dekat mereka. “Mendingan aku ya. Suka sama satu cowok, gak kayak kamu Ray, suka sama banyak cewek. Playboy ah kamu.”

“Yah, ngambek. Jangan ngambek dong, Ag.” Mohon Gabriel, Alvin dan Ray sambil menggodai Agni yang masih marah.

“Hahaha. Aku nggak bisa marah sama kalian.”

--

Aku memasuki kelas XII IPA 3, banyak kenangan dikelas itu. Tak hanya dengan Alvin, Gabriel dan Ray saja, tetapi dengan teman-teman yang lain juga. Saat tak ada guru dengan santai kami bermain kartu remi, bergosip dan lain sebagainya.

Aku melangkah menuju bangku kesayanganku. Deretan ketiga paling belakang sebelah kiri. Aku duduk bersama Gabriel. Sedangkan Ray bersama Alvin.

--

“Haha, kalah lagi, Vin?” Tawa Gabriel seraya memberikan bedak putih ke wajah Alvin. Alvin yang kalah hanya bisa mendengus dengan kesal.

“Perasaan kamu kalah mulu deh, Vin. Kalah atau mengalah?” Tanya Chandra dengan tampang polosnya.

“Aku mengalah. Aku lagi males mengeluarkan jurus ampuhku.” Jawab Alvin sambil mengocok kartu reminya.

“Apaan jurus ampuhmu, Vin?”

“Kamu mau tau, Vid?” David hanya mengangguk.

“Tepat sekali kalau kalian pengen tau sekarang. Karena. . .”

Prooottttt..

“Alvin!!!! Jorok ih.” Kontan anak-anak yang sedang berada di daerah pojok sebelah kanan, tempat mereka bermain kartu, menjauh dari tempat itu sambil menutup hidung mereka.

Tapi kejadian itu tak mebuat anak-anak yang bermain domikado di daerah pintu masuk beranjak dari duduknya. Mereka masih asyik saja bermain domikado di sana.

“Domikado mikado eska, eskado eskado bela beli. One two three. . .”

“Yaah, aku kalah deh.” Ujar Ray keluar barisan. Kini Agni, Gina, Kiki, Dewa, Gilang dan Hendri melanjutkan permainannya kembali.

“Udahan ah maennya.” Sahut Gina dengan muka yang ditekuk karena bosan.

“Maen apa donk?”

“Kotak pos yuk?”

“Boleh deh.”

“Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi – isian. . . . .”

“Hei bu Endang mau masuk lho.” Sahut Made memberitahu.

Kontan anak-anak yang masih bermain, berlarian menuju bangku mereka masing-masing. Begitupun dengan Agni, Ray, Alvin dan Gabriel. Mereka semua mulai mengeluarkan buku Matematika.

“Kalian pada ngapain ngeluarin buku?”

“Idih Made gimana sih? Katanya Bu Endang mau masuk?” Gerutu Dea dengan cemberut.

“Mau masuk rumahnya, maksudku. Kan Bu Endang ijin, jemput anaknya. Jadi kita cuma dikasi tugas doank. Dikumpulkan besok.” Ujar Made dengan santai. Dia melangkahkan kakinya menuju kantin. Sontak anak-anak yang lain mengerutu.

--

Area kantin ini masih sama seperti dulu, tak banyak perubahan. Masih ada gerobak pak Toto yang berjualan bakso. Kantin Bu Marni pun masih sama, hanya dindingnya saja yang berganti warna. Di sudut kantin itu, tempat kami biasa berkumpul. Karena di tempat itu, aku bisa dengan bebas memandangi wajahnya. Ya, wajah Rian. Cinta tak terungkap buatku.

--

“Mau makan apa, Ag?”

“Hmm. Nasi goreng aja, Vin. Yang super pedes ya?”

“Iiih, nggak sakit perut apa kamu ntar, Ag?” Tanya Ray yang duduk di sebelah Agni. “Vin, aku mie goreng ya?” Pintanya pada Alvin.

“Iye. Ayuk, Yel!” Alvin dan Gabriel segera memesan makanan dan minuman mereka.

Sementara Agni dan Ray hanya bergurau dengan santai. Ada saja yang mereka bicarakan selagi menunggu Alvin dan Gabriel datang. Sesekali mata indah Agni menatap seseorang yang berada tak jauh dari tempat mereka.

“Haha. Agni. Agni. Kamu ngeliatin dia lagi?”

“Iih apaan sih kamu, Ray. Suka-suka akulah mau ngeliatin siapa.”

“Ayolah, Ag. Ungkapin apa yang kamu rasa ke dia. Ntar nyesel lho.”

“Biarin ah, Ray. Biar hati aku aja yang mencinta. Aku nggak mau bilang ke dia.”

“Mau aku bilangin?”

“Nggak usah!!”

“Kenapa lagi ini?” Tanya Gabriel yang datang dengan membawa makanan dan minuman mereka bersama alvin.

“Itu si Agni ngeliatin seseorang, si . . .”

“Rian?”

“Tepat sekali, Vin.”

“Yaampun, Ag. Udah berapa kali sih kita bilang tembak aja dia.”

“Ah kalian selalu ribut deh kalo ngebahas hal ini. Bikin nggak mood makan.”

“Jadi kamu nggak mau nih nasi gorengnya?” Tanya Gabriel seraya mengambil piring dari meja Agni.

“Enak aja. Aku masih laper tau.”

Mereka menyantap makanan mereka dengan sesekali bersenda gurau. Ataupun saling rebutan makanan. Banyak perbuatan yang mereka lakukan.

Brakkk.

“Hei, ini tempat duduk kita tau!! Kamu anak kelas 1, minggir deh.” Teriak Lia, anak yang paling galak diantara anak-anak kelas 3. Banyak yang takut dengannya. Seketika anak-anak kelas 1 yang sedang makan, pergi dari tempat itu mencari tempat lain.

Banyak yang melihat kejadian itu tapi sedikit yang berani untuk menegur. Agni, Gabriel, Alvin dan Ray berjalan menuju tempat itu. Begitupun dengan Rian dan teman-temannya.

“Aduduhe.. Masih jaman ya senioritas? Mereka punya hak juga kali makan dimana aja. Emang ada hak cipta milikmu di tempat itu? Mana?” Sahut Gabriel dengan santai.

“Ga.. Gabriel.” Ucap Lia dengan menundukkan wajahnya. Tak bisa dipungkiri jika Lia suka dengan Gabriel, dia sering merasa gugup jika berdekatan dengan Gabriel.

“Kenapa kamu? Gugup amat. Takut sama aku? Haha.” Gabriel segera berlalu dari situ diikuti dengan ketiga temannya.

“Huh, apa dia nggak  tau. Kalo aku suka dia?” Rutuk Lia.

--

Lapangan bola yang panas. Dimana kami pernah dihukum. Karena sekelas tidak mengerjakan PR yang disuruh oleh guru.  Lapangan ini makin gersang dengan rumput yang mulai jarang. Aku menuju sebuah pohon yang masih berdiri dengan tegak di sana. Aku duduk di bawah rindanganya pohon dengan ditemani semilir angin di sore hari. Sejuk.

--

“Pak, masa’ kita dijemur di lapangan sih?”

“Malu, Pak.”

“Jangan donk, Pak.”

Keluh siswa dan siswi kelas XII IPA 3 dengan nada yang memohon. Tapi Pak Budi, guru Sejarah mereka, tak mau mendengarkan. Dan mereka sukses dihukum hingga mata pelajaran Sejarah mereka berakhir.

Para siswa dan siswi lain yang melewati lapangan hanya geleng-geleng kepala, ada juga yang tertawa maupun mengejek.

Agni menoleh ke arah kanannya. Dan apa yang dilihatnya? Ada Rian yang tersenyum simpul disana. Muka Agni yang sudah memerah karena panas, semakin memerah karena malu.

“Mukamu kenapa, Ag? Merah banget sih?” Tanya Alvin melihat tingkah sahabatnya itu.

“Rian ngeliat ke sini, Vin. Aku malu.”

“Haha. Sabar ya, Ag. Ketahuan deh tingkahmu yang males itu.” Tawa Ray.

“RAY, ALVIN!! Sini kalian!!” Bentak Pak Budi dengan keras. Pak Budi memang terkenal dengan guru yang killer. Banyak murid yang takut padanya.

“I..iiya, Pak.” Jawab mereka gelapan sambil melangkah maju ke depan.

“Lari 1 kali putaran.”

“Sekarang, Pak?”

“Nggak, besok. Sekaranglah. Buruan.”

Alvin dan Ray segera berlari mengelilingi lapang yang besar ini. Belum ada setengah putaran mereka sudah kelelahan. Sedangkan teman-temannyanya yang lain hanya tersenyum menahan tawa yang akan keluar dari mulut mereka.

--

Kini aku memasuki sebuah aula yang ada di dekat lapangan. Sebuah panggung berdiri dengan tegak disana. Aula ini memang sering digunakan sebagai tempat latihan para murid yang mengambil ekstrakurikuler Teater. Dan tempat terkahir kami mengenang masa Putih Abu.

--

“Ag, Vin, Ray, kira-kira kita bakalan ketemu lagi nggak ya? Bakalan satu kampus gitu?” Tanya Gabriel di sudut aula. Mereka saling berpelukan.

“Masa indah putih abuku itu karena ada kalian. Kalian yang membuat hari-hariku bermakna. Tanpa kalian aku nggak tau gimana nasib masa SMAku. Hehe.” Tawa Agni dengan terpaksa. “Aku bakalan sedih pisah sama kalian.”

“Cita-cita, mimpi dan impian kita berbeda. Mungkin kita nggak bakalan satu kampus. Tapi inget, kita pernah bersama. Di sekolah ini dengan seragam putih abu. Selama 3 tahun.” Alvin menggenggam tangan Agni, Ray dan Gabriel. Mereka saling bergenggaman dengan erat.

“Walaupun nggak satu kampus. Kita masih bisa bertemu di sekolah ini. Dengan keceriaan yang masih sama. Dengan kelincahan yang masih sama. Dan dengan tawa canda kalian yang masih sama. Jangan pernah lupakan itu.”

“Hei kalian berempat segera naik panggung. Sebentar lagi kalian pentas.”

“Siap, Mas Beni.”

Mereka berempat segera menaiki panggung dengan kesedihan di wajah mereka, yang seolah tak rela dengan sebuah perpisahan. Tapi waktu terus berjalan. Waktu tak pernah berhenti. Impian, cita-cita dan harapan mereka harus mereka kejar.

Ray mengambil posisi di drum, Alvin memetik senar gitarnya, Gabriel memainkan bassnya dan Agni mengambil suara seraya memainkan denting-denting keyboard.


Jabat tanganku
Mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu



Peluk tubuhku


Usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tiada bertemu lagi



Bersenang-senanglah


Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti
Sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang kan kita banggakan
Di hari tua…. Ohh



Sampai jumpa kawanku


Semoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik
Untuk masa depan



Mungkin diriku


Masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku
Masih haus sanjungan kalian


Tangis haru mewarnai isi aula itu, ada yang saling berpelukan dengan sahabat mereka. Ada tawa yang tertahankan. Ada sebuah rasa yang diungkapkan.

“Ag, kamu nggak mau nembak Rian?”

Agni menoleh pada Ray. “Aku nggak yakin, Ray.”

“Ag, kalo kamu suka sama dia. Kamu utarakan aja, nggak perlulah nembak. Setidaknya dia tahu apa yang sedang kamu rasakan padanya.”

“Bener tuh kata Gabriel, Ag.”

“huhh.. doain aku ya?”

Agni melangkah menuju tempat Rian yang sedang duduk di belakang.

“Hei, Yan.”

“Hei. .”

“Mau kuliah dimana?” Tanya Agni gugup.

“Belum tau nih, Ag.”

“Hah? Kamu tau namaku?”

“Iya, memang kenapa?”

“Aku kira kamu nggak tau namaku, aku takjub.”

“Aku selalu memperhatikanmu dengan caraku tanpa sepengetahuanmu. Hanya itu yang bisa kulakukan. Karena aku nggak berharap memilikimu walau ingin.”

“Kenapa?”

“Aku tak mau mengganggu hubunganmu dengan Gabriel. Bukankah kau ada hubungan dengannya? Kalian terlihat dekat. Tapi jangan pernah lupakan aku ya? Aku yakin suatu saat kita pasti bertemu lagi.”

“Pasti, Yan.”

--

Aku duduk di depan piano yang terpajang dengan rapi di panggung itu. Aku mulai memainkannya.

Menantikanmu dalam jiwaku
Sabarku menunggu berharap sendiri
Aku mencoba merindukan bayangmu
Karna hanyalah bayanganmu yang ada

Hangat mentari dan terangnya rembulan
Mengiringi hari-hariku yang tetap tanpa kehadiranmu
Indahnya pelangi yang terbit kala
Sinar matamu menembus relung hatiku.

Pantaskah diriku ini mengharapkan
Suatu yang lebih dari hanya
Sekedar perhatian dari dirimu
Yang kau anggap biasa saja

Atau mestikah ku simpan dalam diri
Lalu ku endapkan rasa ini terus
Selama-lamanya

Diriku cinta dirimu
Dan hanya itu satu
Yang aku tak jujur padamu
Ku ingin engkau mengerti

Mungkinkah engkau sadari
Cinta yang ada di hatiku
Tanpa sepatah kata kuucap padamu

Ooh sayang..
Dapatkah aku memanggilmu sayang
Sampai kapan
Aku pun tak sanggup tuk pastikan
Ku dapat memendam seluruh rasa ini

Dengarlah jeritan hatiku untukmu
Dan aku ingin engaku mengerti
Apa yang di hatiku
Sanubariku kita kan berdua selamanya

Adakah engkau rasakan
Mengapa tak kau nyatakan

Ku akui ku rasakan
Suatu saat kan ku katakan

Sampai kapan ku bertahan
Menantikan kepastian

Yakinlah sayang
Cinta kita akan menjadi kenyataan

Aku menundukkan wajahku, menahan butiran air yang akan keluar dari mataku.

Disini, aku masih menantinya. Cinta terpendamku.
Disini, aku masih merindukannya. Canda dan tawa para sahabatku.
Disini, aku masih membayangkannya. Raut wajah senang, sedih dan marah dari para guruku.
Disini, aku masih merasakannya. Kebersamaan bersama teman-temanku.
Dimana bisa kutemukan mereka? Selain di tempat ini.

“Suaramu masih seperti dulu. Tak ada yang berubah. Tetap bagus.”

Aku menatap seseorang yang kini tepat berada didepanku. “Rian?”. Rian hanya tersenyum padaku. “Kenapa kau ada disini? Terakhir kudengar kabarmu, kau ada di Amerika. Bekerja di sana.”

“Iya, Ag. Tapi aku merindukan sesuatu. Sesuatu yang kucari hingga ku lelah. Dan aku menemukannya di sini. Di sekolah penuh kenangan ini. Sesuatu yang hilang dan aku tak ingin sesuatu itu hilang kembali. Aku rasa kau tau maksudku.”

Aku hanya mengangguk mendengarnya. Air mata itu kini mengalir dengan deras di pipiku. Aku berdiri dan memeluknya. Aku pun tak ingin sesuatu itu hilang lagi. Sesuatu yang kami sebut cinta.

“Kalo jodoh nggak kemana ya, Ag?” Aku menolehkan kepalaku ke arah belakang. Dimana asal suara itu berbunyi. Suara yang tak asing bagiku.

“Gabriel? Alvin? Ray?” Aku berlari memeluk mereka. Sahabat yang selama ini bisa memehamiku lebih dari diriku sendiri.

Kami keluar dari aula, dan melangkah menuju gerbang sekolah. Dimana awal kebersamaan itu berawal dari sana. Dari pertama kali kami menginjakkan kaki di gerbang itu dan melangkah memasuki bangunan sekolah. Di situlah persahabatan kami mengalir dengan indah, dan cinta pertama yang ku tunggu hingga kini.

Aku tak kan pernah bisa melupakan sekolah ini. Sekolah penuh kenangan dengan mereka. Satu masa yang takkan pernah bisa terulang kembali. Satu masa dimana aku mengenal persahabatan, pertemanan, kekompakan, dan cinta sejati.

Dan satu masa itu masih tersimpan indah dalam lembaran kisah hidupku. 

--


TRACK LIST :
Sebuah Kisah Klasik - Sheila on 7
Sampai Kapan - Maliq & d'essentials


NB : 
- Cerita ini terilhami dari film Catatan Akhir Sekolah dan masa-masa SMAku, hehe :p
- Cerita ini, hmm hancur ya? Aku bingung cara menyampaikan pesan tentang masa sekolah, hanya dengan cara itu aku menyampaikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar